Monday, December 28, 2015

PEMBENIHAN TIRAM MUTIARA

BIOLOGI TIRAM MUTIARA

A. Klasifikasi

Tiram mutira termasuk sebagai hewan lunak, yaitu hewan yang dalam biologi termasuk kedalam pilum Molusca, dimana pilum tersebut terbagi atas enam kelas yaitu (1) Monoplacophora (2) Amphineura (3) Gastropoda (4) Lamellibranchiata atau Pellechypoda (5) Scaphopoda (6) Cephalopoda.
Tiram mutiara dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
                        Kingdom        : Invertebrata
                        Pilum              : Mollusca
                        Kelas              : Pellecypoda
                        Ordo               : Anysomyaria
                        Family                        : Pteridae
                        Genus                        : Pinctada
                        Spesies          : Pinctada sp. dan Pteria sp.

B.Jenis-jenis penting Tiram mutiara

Menurut Dwiponggo (1976), jenis-jenis tiram mutira yang ada di Indonesia adalah Pinctada maxima, Pinctada margaritifera, Pinctada fucuta, Pinctada chemnitzi, dan Pteria penguin. Dibeberapa daerah Pinctada fucuta dikenal juga sebagai Pinctada martensii.
Sebagai penghasil mutiara terpenting adalah tiga spesies, yaitu, Pinctada martensii, Pinctada margaritifera dan Pinctada maxima. Sebagai jenis yang ukuranya terbesar adalah Pinctada maxima. Untuk membedakan jenis tiram mutiara, perlu dilakukan pengamatan morfologinya, seperti warna cangkang dan cangkangnya.
Tabel 1. Perbandingan dari tiga jenis Pinctada penghasil mutiara terpenting
Sifat-sifat
P. martensii
P. margaritifera
P. maxima
Ukuran.
Dewasa penuh
Rata-rata
Cangkang
Kecembungan
Warna luar

Garis cangkang
Narce
Narce
Pinggiran
Garis engsel
Berat

4 inci
3 inci

Cembung
Abu-abu kuning

K. 1. 7 coklat ungu


Perak kehijauan
Jingga kuning
Panjangya sedang
60-100 cangkang tiap Kan

7 inci
6 inci

Agak cembung
Coklat kehijauan

Baris titik-titik


warna baja
Hijau metalik
Pendek
15 cangkang tiap Kan

12 inci
8  inci

Rata
Coklat kuning pucat
Hanya suatu jejak

Putih perak
Kuning emas
Sedang
9-10 cangkang tiap Kan
Catatan :
1 Kan : 8,267 pon
1 Kg    : 2,205 pon

C.Morphologi dan Anatomi

1. Morphologi
Tubuh tiram mutiara ditutup oleh sepasang kulit tiram (shell; cangkang) yang tidak sama bentuknya, kulit sebelah kanan agak pipih, sedang kulit sebelah kiri lebih cembung. Bentuk, ukuran dan warna cangkang digunakan untuk membedakan antara jenis satu dengan yang lainya. (Gambar 1)










Gambar 1. Cangkang bagian Luar Pinctada maxima

Pada sisi cangkang bagian dalam terdiri dari nacre atau mother of pearl, dibawahnya adalah lapisan prismatik atau overtone dan bagian luar adalah lapisan priostrakum.
Narce berwarna putih mutiara dan mempunyai struktur keping yang kecil-kecil terdiri dari kristal aragonite yang tersusun pada satu kerangka conchiolin(Gambar 2)










Gambar 2. Cangkang bagian dalam Pinctada maxima

Lapisan prismatik yang warnanya bermacam-macam terdiri dari kristal kalsit heksagonal, tersusun padat pada kerangka chonchiolin. Conchiolin adalah lapisan yang terluar, tetapi biasanya telah terkikis oleh alam, kecuali pada tiram yang masih mudah (Atmosudarmo). Lapisan priostrakum tersusun dari zat organik yang menyerupai zat tanduk (Miller M, 1959).  (Gambar 3.)


 


                                                                                    Lapisan Periostrakum
 


                                                                                   
 


                                                                                    Lapisan Prismatik
 




                                                                                    Lapisan Nacre
 


Gambar 3.  Struktur Kulit tiram Mutiara




2.  Anatomi

Tubuh tiram mutiara  terdiri dari tiga bagian utama, yaitu : kaki, mantel, dan organ dalam (visceral mass). Kaki berfungsi sebagai alat bergerak hanya pada masa mudanya sebelum hidup menetap .menempel pada suatu substrat. Sesudah tiram hidup mnempel dengan bysusnya, kaki sudah tidak dipergunakan lagi.
Mantel terdiri dari suatu selaput (integument) yang membungkus visceral mass, mantel tergantung seperti tirai pada kedua sisi organ tubuh, terletak antara tubuh dan cangkan. Mantel mengeluarkan zat yang membentuk cangkang. Pinggirnya di satu tempat membentuk ”inhalent dan exhalent  siphon untuk masuk dan keluarnya air.
Insang mempunyai fungsi penting dalam pernafasan dan pengumpulan makanan. Insang mempunyai silia yang gerakanya menyebabkan air masuk ke dalam rongga mantel (mantle cavity) melalui inhalent siphon. Makanan yang terbawa oleh air, masuk ke mulut dxan airnya dikeluarkan kembali melalui exhalent siphon, sementara itu darah yang tidak berwarna di dalam insang mengambil oksigen dari air.
Mulut terletak dibagian dorsal anteroir, dibelakangnya adalah oesophagus yang pendek, kemudian lambung yang berdinding tipis. Dari ujung posterior, lambung berhubungan usus halus (intestine) yang berbentuk S berakhir pada anus.
Jantung terdiri dari satu ventrikel ditengah dan dua aurikel lateral. Pembuluh dara aorta anterior dan posterior membawa darah yang tidak berwarna dari jantung.
Seperti pada jenis-jenis tiram lainnya, kelamin biasanya terpisah. Tetapi dalam hal ini masih terdapat dua pendapat berbeda, apakah tiram mutiara Diocious atau hermaprodite
Gonada pada tiram muda belum tampak tetapi urogenital papillae dapat dilihat pada kedua tubuh, terletak di sebelah dalam dari mantel dan insang. Pada tiram yang dewasa gonada berkembang dan tampak nyata, karena tidak merupakan organ tersendiri melainkan menyelubungi Visceral mass (lambung, digestive diverticula dan usus). Pada tiram yang telah matang kelamin. Digestive diverticula sama sekali dibungkus oleh gonad.
Otot (Adductor muscle) terletak di dekat pusat (tengah-tengah) dan menyilang dari cangkang kiri ke kanan di dalam tubuhnya. Otot ini berfungsi untuk membuka dan menutup cangkang)














Gambar 4. Anatomi tiram mutiara dan lokasi penempatan inti.
SIKLUS HIDUP DAN REPRODUKSI

Tiram mutiara mempunyai jenis kelamin terpisah, kecuali pada beberapa kasus tertentu ditemukan sejumlah individu hermaprodit. Perubahan kelamin (sex reversal) biasanya terjadi pada sejumlah individu setelah memijah atau pada fase awal perkembangan gonad. Fenomena  sex reversal yang diamati pada tiram Pinctada maxima menunjukkan bahwa jenis kelamin tiram ternyata  tidak tetap. Sejumlah jantan berubah menjadi betina, sebaliknya sejumlah betina berubah menjadi jantan.
Bentuk gonad tebal menggembung. Pada kondisi matang penuh, gonad menutupi seluruh organ dalam (seperti perut, hati, dll) kecuali bagian kaki.  Pada fase awal, gonad jantan dan betina secara eksternal sangat sulit dibedakan, keduanya berwarna krem kekuningan. Namun setelah fase matang gonad penuh, gonad tiram mutiara jantan berwarna putih krem, sedangkan betina berwarna krem kekuningan sampai kuning.
Tingkat kematangan gonad tiram mutiara dikelompokkan menjadi lima fase (deskripsi perkembangan gonad ini hanya didasarkan pada tiram betina) yaitu sebagai berikut:

1.    Fase 1 : Tahap tidak aktif/istirahat (inactif)
Kondisi gonad mengecil dan berwarna bening transparan. Dalam beberapa kasus gonad berwarna oranye pucat. Rongga kosong sel berwarna kekuningan (lemak). Pengamatan jenis kelamin pada fase ini sangat sulit dilakukan.

2.   Fase 2: Pematangan (Maturing)
Warna transparan hanya terdapat pada bagian tertentu, sel kelamin mulai ada dalam gonad. Saat mencapai fase lanjut, gonad mulai menyebar di sepanjang bagian posterior sekitar otot retraktor dan lebih jelas lagi di bagian anterior-dorsal. Gamet mulai berkembang di sepanjang dinding kantong gonad. Sebagian besar oocyt (bakal telur) bentuknya belum beraturan dan inti belum ada. Ukuran rata-rata oocyt 60 x 47,5 mikron

3.   Fase 3: Matang (mature)
Gonad tersebar merata hampir di seluruh jaringan organ, biasanya berwarna krem kekuningan. Sebagian besar oocyt berbentuk seperti buah pir dengan ukuran 68 x 50 mikron, inti berukuran 25 mikron


4.   Fase 4: Matng penuh (fully maturation)
Gonad menggembung, tersebar merata, dan secara konsisten akan keluar dengan sendirinya atau jika ada sedikit trigger (getaran). Oocyt  bebas dan terdapat di seluruh dinding kantong. Hampir semua oocyt berbentuk bulat dan berinti. Ukuran inti rata-rata 51,7 mikron
5.  Fase 5 : Salin (Spent)
Bagian permukaan gonad mulai menyusut dan mengerut dengan sedikit gonad tertinggal di dalam lumen (saluran-saluran di dalam organ reproduksi) pada kantong. Jika ada oocyt maka jumlahnya hanya sedikit dan bentuknya bulat ukuran rata-rata oocyt 54,4 mikron.

Pada fase awal perkembangan gonad, tiram jantan dan betina menunjukkan perkembangan reproduksi yang sama. Oleh karena itu, pada fase II dan III warna gonad krem pucat. Pada fase gametogenesis yang lain, gonad jantan  dan betina tampak sama jika diamati secara ekternal.
Hasil pengamatan terhadap fase kematangan gonad  dan musim pemijahan Pinctada maxima di Teluk Hurun, Lampung dari tahun 1996-2002 menunjukkan bahwa  kematangan gonad terjadi setiap bulan, namun fase kematangan gonad tingkat IV hanya terjadi pada bulan Maret, Mei, Agustus sampai November.
Musim  puncak kematangan gonad identik dengan musim puncak pemijahan. Pada musim tertentu induk tiram di alam yang telah dewasa akan bertelur. Kemudian telur-telur tersebut akan dibuahi oleh sel kelamin jantan. Pembuahan terjadi secara eksternal di dalam air.
Telur yang telah dibuahi akan mengalami perubahan bentuk, mula-mula terjadi penonjolan polar, lalu membentuk polar lobe II yang merupakan awal proses pembelahan sel dan akhirnya menjadi  multi sel. Tahap berikutnya adalah fase trocofor. Dengan bantuan bulu-bulu getar, trocofor dapat berenang dan bergerak berputar-putar. Beberapa jam kemudian, trocofor akan berkembang menjadi veliger (larva bentuk D) yang ditandai dengan tumbuhnya organ mulut pencernaan. Pada tahap ini larva mulai makan dan tubuhnya telah ditutupi cangkang tipis. Perkembangan selanjutnya adalah tumbuh velum. Pada fase ini biasanya larva sangat sensitif terhadap cahaya dan sering berenang di permukaan air, dan bersifat plakntonis, larva biasanya berenang dengan menggunakan bulu-bulu getar.
Pada saat fase umbo, secara bertahap cangkang juga ikut berkembang. Bentuk sepasang cangkangnya sama. Mantel sudah berfungsi secara permanen. Pada akhir masa umbo, larva bergerak dengan menggunakan velum.
Fase Pediveliger ditandai dengan berkembangnya kaki. Gerakan-gerakan sederhana dari berenang sampai dengan berputar-putar dilakukan dengan velum dan kaki. Setelah kaki berfungsi dengan baik, velum akan menghilang, lembaran-lembaran insang mulai tampak jelas.
Proses pencarian tempat atau subtrat untuk menempel dan menetap dimulai sejak larva mencapai fase Pediveliger. Pertumbuhan cangkang terlihat pada bagian tepi cangkang yang bentuknya sangat tipis, transparan, dan tersusun oleh selaput tipis  Conchilion (Zat organik yang berfungsi sebagai perekat). Pada waktu yang sama, kelenjar bisus akan mensekresikan benang-banang bisus untuk menempel. Organ lain yang berkembang yaitu  Labial palp (semacam bibir) dan insang. Fase pertumbuhan setelah selanjutnya adalah Plantigrade.
Perkembangan akhir larva yaitu perubahan fase Plantigrade menjadi Spat. Bentuk spat menyerupai tiram dewasa, mempunyai engsel, auricula (bilik hati) depan dan belakang, serta terdapat takik bisus pada bagian anterior. Cangkang sebelah kiri lebih cembung daripada sebelah kanan. Spat dapat menempel pada subtrat dengan bantuan benang-benang bisus.

Tabel 2. Perkembangan larva Tiram mutiara
Waktu sesudah pembuahan
Suhu
(0C)
Perkembangan
15 menit
25 menit
40 menit

45 menit
1 jam
1, ½ – 2, ½ jam
2, ½ – 3, ½ jam
3, ½ – 4 jam
5, ½  jam
7, ½ jam
18 , ½ - 19 jam

28 jam


30 – 32 jam
7 hari
9 hari


2 – 3 minggu
28
28
29

30
30
28-30
27-30
27-31
28-30
28-30
26-30

25-30


25 -30
25-32
24-32

Penonjolan polar body I
Penonjolan polar body II
Pembentukan polar lobe I, permulaan cleavage I.

Stage 2 sel
Stage 4 sel
Stage 8 sel
Stage Morula
Blastula; mulai mengadakan rotasi
Permulaan grastulasi
Perkembangan flagella apical
Kulit tiram hampir menutupi tubuh; larva vellger berbentuk D.

L77u, Hg55u, H62u. Gigi- gigi ensel rudimenter mulai tumbuh: L84u, Hg55u, H68u.

Flagella apical kurang nyata
 Umbo mulai tumbuh; ukuran L90u, Hg55u, H75u
Umbo menonjol sedikit melebihi panjang garis ensel; L95u, Hg55u, H88u.

Siap untuk melekat; spat, ukuran 0,5 mm
Keterangan : L : panjang cangkang, Hg : panjang garis engsel, H : tinggi
                        U : Mikron.


PERSIAPAN PEMBENIHAN

A. Bangunan
Tempat oprasional hatchery tidak harus bangunan permanen, tetapi bisa disesuaikan dengan dana yang tersedia. Pada prinsipnya bangunan harus memenuhi persyaratan teknis operasional yang terdiri dari ruang kultur alga, ruang aklimatisasi, ruang pemijahan, runga pemeliharaan larva dan spat serta ruang staf
Tata letak bangunan sedapat mungkin jauh dari aktivitas seharei-hari sehingga organisme yang dipelihara selalu dalam suasana tenang. Tempat pemeliharaan larva hingga spat dapat diusahakan relatif gelap atau cahaya yang masuk diatur. Hal ini disesuaikan dengan habitat tiram mutiara yang hidupnya di perairan dalam, ventilasi diusahakan terbatas sehingga suhu ruangan lebih stabil. Lantai dasar bangunan harus kuat, tidak licin dan kemiringannya harus diperhatikan agar air buangan dapat mengalir dengan lancar dan lantai selalu dalam keadaan kering dan bersih.

B. Suplai Air Laut
Penyediaan air laut yang bersih dan berkualitas mutlak diperhatikan karena air merupakan media tumbuh dan berkembang bagi organisme peliharaan. Air laut untuk kegiatan hatchery merupakan factor penentu kerberhasilan usaha pembenihan. Air yang akan digunakan sebaiknya  telah memlalui beberapa proses filterisasi, antara lain melawati saringan pasir (sand filter) dan bak pengendapan.
Pengambilan air laut dilakukan dengan menggunakan pompa air. Untuk pemeliharaan larva khususnya air laut sebaiknya melalui beberapa perlakuan seperti Chlorinisasi, Ultr violet maupun saringan kapas (cotton filter)

C. Ruang Aklimatisasi
Ruang aklimatisasi sangat bermanfaat bagi induk-induk yang akan dipijahkan. Induk yang berasal dari tempat budidaya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya di hatchery. Agar kondisi induk tetap nyaman dan tidak mengalami stres, lingkungan tempat pemeliharaan diusahakan tenang, cahaya ruangan tidak terlalu terang, dan jika  perlu dapat dipasangi AC (Air Conditioner). Tempat aklimatisasi menggunakan bak fiberglass atau bak semen volume 1 – 2 ton. Dinding bak sebaiknya berwarna gelap, seperti warna di laut dalam (biru)

D. Tempat Pemeliharaan
Salah satu persyaratan yang harus dipersiapkan sejak awal adalah sarana pemeliharaan. Ketersediaan tempat pemeliharaan yang baik dan memenuhi persyaratan teknis akan sangat menunjang keberhasilan kegiatan produksi spat.

1.    Bak Induk
Bak induk dapat diletakkan di dalam ruang aklimatisasi atau terpisah, tergantung pada kondisi ruangan yang ada. Jika sarana yang dimiliki terbatas, bak aklimatisasi sekaligus dapat digunakan sebagai bak induk dan bak pemijahan. Bak pemeliharaan induk bisa dibuat dari bahan fiberglass atau bak semen volume 1 – 2 ton. Warna dalam bak sebaiknya gelap.

2.   Bak Pemijahan
Bak pemijahan bisa terbuat dari bahan fiberglass atau akuarium kaca dengan kapasitas yang tidak terlalu besar (80 – 100 liter). Hal ini  bertujuan untuk memudahkan penanganan terutama saat pemanenan telur. Posisi bak pemijahan diusahakan berdekatan dengan bak pemeliharaan larva sehingga memudahkan saat pemindahan telur dan dapat mengurangi setres akibat penanganan yang terlalu lama selama pemindahan.

3.   Bak Pemeliharaan Larva
Bak pemeliharaan larva dan spat sebaiknya terbuat dari bahan fiberglass. Selain praktis, bak ini juga mudah dibersihkan. Dinding bak diusahakan tebal sehingga fluktuasi suhu air dalam bak selama pemeliharaan tidak terlalu besar. Ukuran bak antara 1 – 2 ton. Bak dilengkapi dengan kran pembuangan air (outlet). Warna bagian dalam bak dibuat agak gelap seperti warna biru atau warna alami lautan.

4.   Bak Penjarangan dan Penempelan Spat
Umumnya, bak penjarangan dan bak penempelan spat terbuat dari bahan fiberglass atau plastik. Ukuran bak 90 cm x 60 cm x 50 cm atau disesuaikan dengan ukuran kolektor (bahan yang digunakan untuk tempat penempelan spat atau sebagai subtrat). Bak ini juga dapat dibuat dari bahan papan atau multiplek yang dilapisi dengan fiberglass. Alternatif lain, juga dapat digunakan ember plastik yang besarnya disesuaikan dengan ukuran kolektor. Warna bak sebaiknya gelap agar kontras dengan warna spat yang putih transparan. Jadi jika ada spat yang tidak menempel dan jatuh di dasar bak maka akan terlihat dan mudah diambil kembali.

5.  Rakit Pemeliharaan Induk
Rakit apung selain berfungsi untuk pemeliharaan induk, pendederan, dan pembesaran juga berfungsi sebagai tempat aklimatisasi induk pasca pengangkutan. Bahan rakit dapat terbuat dari kayu dengan ukuran 6 x 6 meter. Ukuran rakit yang akan dibuat bisa disesuaikan dengan ukuran bahan yang tersedia di lokasi.
Bahan rakit tidak harus terbuat dari kayu, tetapi juga dapat dari bambu, pipa plastik, pipa paralon. Namun yang menjadi pertimbangan adalah kelayakan usaha, apakah bahan yang digunakan mudah diperoleh, murah dan tahan lama. Untuk menyangga agar rakit tetap terapung maka digunakan pelampung ( Sterefoam dan drum plastik)
Pemasangan rakit di lokasi hendaknya dilakukan pada waktu air pasang tinggi. Posisi peletakan rakit diusahakan searah dengan arah arus atau sejajar dengan garis pantai. Hal ini bertujuan untuk menghidari kerusakan atau bergesernya posisi rakit pada saat gelombang besar. Dan rakit diberi pemberat sekitar 50 – 60 kg.

6.   Keranjang Pemeliharaan Induk
Keranjang pemeliharaan induk bisa terbuat dari kawat galvanizir, plastik atau kawat alumunium, jika bahan dari kawat, agar lebih awet sebaiknya keranjang dilapisi atau dicelupi bahan plastik. Ukuran keranjang 25 cm x  25 cm x 60 cm. Namun ukuran keranjang pemeliharaan tergantung ukuran induk, ketersediaan bahan, biaya dan kemudahan penanganan. Satu keranjang dapat diisi induk ukuran dorsal-ventral 17- 20 cm, sebanyak 8 – 10 ekor.
Untuk pendederan atau pemeliharaan spat yang baru dipindah dari hatchery digunakan keranjang jaring ukuran 40 x 60 cm. Spat berukuran 2 – 3 cm (d-v) dipelihara dalam keranjang dengan lebar mata jaring 0,5 – 1 cm. Mata jaring disesuaikan dengan ukuran spat.






Gambar 5. Keranjang Pemeliharaan induk
E.  Spat Kolektor
Bahan yang digunakan untuk tempat penempelan spat atau sebagai subtrat disebut kolektor. Spat kolektor bisa dibuat dari berbagai jenis bahan, misalnya  senar plastik, paranet, asbes gelombang, genteng fiber atau bilah pipa peralon. Keranjang dengan kerangka kawat ukuran 40 x 60 cm juga dapat digunakan sebagai wadah kolektor

F.  Peralatan Lain
Untuk menunjang kelancaran kegiatan operasional hatchery, dibutuhkan alat bantu seperti blower dengan instalasi pengudaraan, mikroskop, saringan (plankton net), peralatan kerja dan alat monitoring kualitas air (gambar 6 dan 7)












       Gambar 6. Peralatan kerja dalam pembenihan Tiram mutiara













Gambar 7. Peralatan monitoring kualitas air


PENGELOLAAN INDUK

Induk yang baik merupakan syarat utama produksi massal spat. Induk berkualitas akan mampu menghasilkan telur-telur yang berkualitas. Larva dan spat yang berasal dari telur yang berkualitas tinggi umumnya menunjukkan laju pertumbuhan yang baik serta kemampuan beradaptasi dan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi. Tentu saja pencapaian tersebut perlu ditunjang oleh beberapa faktor pemeliharaan yang lain, seperti pakan, kualitas air dan pengelolaan yang baik.

A. Penyediaan Induk
Tiram mutiara yang akan digunakan sebagai induk dapat berasal dari alam dan atau hasil pembenihan. Induk yang diambil dari alam biasanya perlu diaklimatisasi karena habitat asal tiram mutiara diadasar laut mencapai kedalaman antara 20 – 60 m. Induk yang berasal dari dasar laut dipindahkan ke tempat budi daya yang lebih dangkal sehingga perlu penyesuaian diri dengan kondisi lingkungan hidup yang baru. Sementara induk yang  berasal dari hatchery  umumnya langsung dipijahkan karena sudah terbiasa dengan kondisi lingkungan budi daya. Selain itu, ukurannya juga seragam.
Selama 1 -2 bulan masa aklimatisasi, induk dipelihara dikeranjang kawat atau keranjang plastik kemudian di gantungkan pada rakit apung kedalaman 4 – 5 m. Setelah masa aklimatisasi sekitar 2 -3 bulan sekali induk di bersihkan dari kotoran dan organisme penempel dengan cara disikat atau dikerik.

B. Pengangkutan Induk
Pengangkutan induk dapat dilakukan dengan metode pengangkutan kering ( dry method ). Sebagai sarana pengangkutan digunakan kotak styrofoam. Bagian dasar kota diberi lapisan kain tebal, handuk atau busa yang dibasahi air laut. Kemudian induk-induk disusun secara berjajar searah. Bagian anterior induk yang satu ditindih dengan bagian dorsal induk yang lain. Setiap selesai menyusun satu lapis induk di selingi dengan lapisan kain atau busa, demikian seterusnya hingga kotak penuh.
Selam pengangkutan kondisi dalam kotak dijaga agar tetap rendah dan stabil. Caranya es batu ( sebaiknya terbuat dari air laut ) dimasukkan kedalam kantong plastik lalu dibungkus kertas koran. Kemudian es batu tersebut diletakkan dibagian atas kotak.
    










Gambar 8. Pengangkutan induk dengan Styrofoam


C. Pemeliharaan Induk
Pemeliharaan induk di laut dilakukan dengan penempatan induk-induk di dalam keranjang kawat. Keranjang diikat dengan tali polietilen, lalu digantungkan pada rakit apung dengan kedalaman 6 – 8 m. secara periodik setiap 3 – 4 bulan, induk dibersihkan dari organisme penempel dengan menggunakan pisau atau sikat, setelah bersih dimasukkan kembali ke lokasi budidaya.
Untuk menghindari adanya gangguan organisme pengebor maka setiap 3 – 4 bulan sekali perlu dilakukan perendaman dengan air tawar atau larutan garam pekat. Dengan perendaman tersebut, akan terjadi perubahan salinitas yang mencolok dan terjadi secara mendadak sehingga semua organisme yang menempel pada cangakang dan berada di dalam cangkang akan mati.
Sebagai tindakan preventif, dapat dilakukan perendaman dengan air tawar selama 5 – 10 menit. Jika serangan agak parah maka waktu perendaman ditingkatkan  menjadi 10 -15 menit. Perendaman dengan larutan garam pekat 10 -15 % selama 5 – 10 detik ternyata cukup efektif untuk mengurangi serangan organisme pengebor atau parasit.

D. Pemeliharaan induk di Hatchery.
Pemeliharaan induk tiram di hatchery dilakukan di dalam bak fiber glass kapaitas 1 ton. Selama pemeliharaan digunakan sistem air mengalir  dan diberi pakan tambahan berupa fitoplankton. Aplikasi pakan hidup diberikan dengan variasi komposisi Isochrysis galbana dan atau Pavlova lutheri dengan Tetraselmis tetrathele atau Chaetoceros sp, dengan perbandingan 1 : 1 jumlah pakan yang diberikan 25.000 – 30.000 sel/cc/hari. Dan sebagai pakan tambahan diberikan juga tepung jagung sebanyak 30 gr/ekor/hari.
Pemeliharaan induk juga dapat dilakukan di dalam bak semen volume 20 – 50 ton dengan sistem air mengalir atau penggantian air sebanyak 100 – 200%. Namun hasil dari pemeliharaan ini kurang memuaskan karena penyediaan dan pemberian pakan sulit dilakukan. Hasil pengamatan selama tiga bulan terhadap induk yang di pelihara menunjukkan bahwa tidak terjadi peningkatan fase kematangan gonad dan pertumbuhan cangkang, serta mortalitas mencapai 25 – 30%. Hal ini diduga karena suplai pakan dari alam sangat terbatas dan untuk menyediakan pakan hidup dalam jumlah besar diperlukan banyak sarana dan tenaga.

E. Seleksi Induk
Seleksi induk dapat dilakukan di atas rakit apung di laut atau di hatchery. Induk-induk yang diseleksi diletakkan di dalam dulang dengan posisi berdiri atau dorsal di bawah. Beberapa saat kemudian, biasanya induk akan membuka cangkang karena kekurangan oksigen. Proses pembukaan cangkang hendaknya jangan dipaksakan karena cangkang bisa pecah. Setelah cangkang terbuka sebagian, segera digunakan alat pembuka cangkang  (shell opener) agar cangkang tertahan terbuka. Selanjutnya, pada cangkang dipasangi baji sebagai pengganjal agar cangkang tetap terbuka sebagian.
Untuk melihat posisi gonad, digunakan alat spatula. Gonad biasanya tertutup oleh insang. Dengan spatula, insang disibakkan sehingga posisi gonad terlihat jelas dan secara visual tingkat kematangan gonad dapat diketahui. Gonad terlihat menggembung dan seluruh permukaan organ bagian dalam tertutup oleh sel gonad kecuali bagian kaki.
Klasifikasi tiram mutiara yang memenuhi syarat untuk dijadikan induk berukuran 17 – 20 cm (DV), cangkang berwarna terang, tidak rusak atau cacat, bebas penyakit atau parasit, matang gonad penuh (Fase iv), untuk induk jantan adakalanya pada ukuran 15 cm sudah matang penuh.

PEMIJAHAN

Pemijahan secara alami sering terjadi pada tiram yang telah dewasa. Dalam kondisi gonad matang penuh, tiram akan segera memijah jika terjadi perubahan lingkungan perairan walaupun sedikit. Kemungkinan lain adalah shok mekanik yang terjadi karena perlakuan kasar atau akibat perbedaan tekanan. Rekayasa pemijahan perlu dilakukan jika secara alamiah tidak mau memijah. Beberapa metode pemijahan.

A. Metode Manipulasi Lingkungan
Metode manipulasi lingkungan yang biasa digunakan  dan resiko kegagalan relatif kecil adalah metode kejut suhu (thermal shock), fluktuasi suhu, dan ekspose. Kejut suhu merupakan metode yang umum digunakan. Dalam teknik ini suhu air tempat pemijahan dinaikkan secara bertahap dengan bantuan alat pemanas (heater) dari suhu 28 0C menjadi 35 0C. Induk biasanya akan memijah setelah 60 - 90 menit sesudah perlakuan
Metode manipulasi lingkungan yang lain adalah fluktuasi suhu, jika suhu air pemijahan 28 0C ditingkatkan menjadi 33 – 35 0C. Jika induk belum memijah setelah 60 – 90 menit maka suhu diturunkan kembali ke suhu awal, demikian seterusnya suhu dinaikkan dan diturunkan sampai induk memijah.
Metode ekspose juga sering digunakan dan adakalanya dikombinasikan dengan metode kejut suhu. Induk  yang akan dipijahkan dikeluarkan dari dalam bak pemijahan, induk diletakkan di tempat yang teduh, lalu dibiarkan selama 30 – 45 menit. Bila fase kematngan gonad beru mencapai fase III maka perlu dilakukan ekspose lebih lama bisa 1 – 2 jam. Setelah itu induk dikembalikan ke dalam bak pemijahan

B. Rangsangan Kimia
Penggunaan bahan kimia juga sering dilakukan untuk memijahkan tiram mutiara, tetapi hasil pembuahan bisanya kurang baik. Penggunaan bahan kimia juga bertujuan untuk merubah lingkungan mikro tempat pemijahan. Secara ekstrim, bahan kimia dengan segera dapat mengubah pH air menjadi asam atau basa. Hal ini bertujuan untuk memberi shock fisiologis sehingga terpaksa mengeluarkan sel-sel gonadnya.

1. Hidrogen Peroksida (H202)
Larutan Hidrogen peroksida ini digunakan untuk merendam induk yang akan dipijahkan. Konsentrasi 5 – 7 % dilarutkan ke dalam air laut segar, selanjutnya induk dimasukkan ke dalam larutan tersebut selama 1 – 2 jam. Setelah itu dikembalikan ke dalam bak pemijahan.

2. Natrium hidroksida (NaOH)
NaOH dalam bentuk butiran dilarutkan dalam air laut. Larutan NaOH digunakan untuk meningkatkan pH air dari pH 8 menjadi 9,0 – 9,5. induk yang akan dipijahkan dipindahkan ke dalam larutan tersebut selama 2 – 3 jam. Jika belum terjadi pemijahan induk dipindahkan kembali ke dalam bak pemijahan.

3. Amonuim hidroksida (NH4OH)
Aplikasi NH4OH dilakukan dengan cara disuntikkan pada otot aduktor atau pangkal kaki. Larutan ini diberikan dengan dosis 0,1 –  0,3 ml dapat merespon induk memijah sekitar 46 – 50 %. Cara ini menunjukkan respon yang paling baik dibandingkan dengan cara perendaman dalam larutan bahan kimia.

4. Larutan Tris
Larutan Tris dimasukkan ke dalam bak pemijahan yang berisi air laut bersih sehingga pH air laut menjadi 9 – 9,5. induk yang akan dipijahkan dimasukkan ke dalam larutan tris selama 1 – 2 jam. Pada pH 9,0 respon pemijahan bisa mencapai 78,5 % sedangkan pH 9,5 responya lebih kecil.


PEMBUAHAN

Selama proses pemijahan induk jantan biasanya memijah terlebih dahulu, kemudian sekitar 20 – 60 menit diikuti induk betina mengeluarkan sel-sel telurnya. Pembuahan terjadi terjadi segera setelah kedua induk memijah. Telur-telur yang belum dibuahi bentuknya agak lonjong menyerupai biji jeruk, sedangkan yang telah dibuahi berbentuk bulat dengan diameter antara 56 – 65 mikron. Seekor induk matang gonad penuh (FKG IV) bisa menghasilkan telur sekitar 17 – 20 juta. Telur yang telah dibuahi cenderung berada di dasar bak. Jika tidak diberi pengudaraan maka telur yang tidak dibuahi akan tenggelam ke dasar bak, lalu tercampur bersama serpihaan jaringan, kotoran dan lendir.











                        Telur yang tidak di buahi             Telur yang sudah di buahi

Gambar 9. Telur Tiram yang dibuahi dan yang tidak dibuahi

Pemanenan telur dahulu dilakukan pengambilan sampel untuk mengetahui apakah semua telur telah dibuahi, sekaligus menghitung jumlah dan mengamati kualitasnya. Telur-telur dipanen dengan cara penyifonan air yang berisi telur. Alat yang digunakan berupa saringan plakntonet yang disusun bertingkat, yaitu mulai ukuran 80 mikron, 40 mikron, 20 mikron. Selain berfungsi sebagai tempat penampungan telur, saringan juga bermanfaat untuk memisahkan antara kotoran dengan telur. Ukuran 80 mikron untuk menyaring kotoran, 40 untuk mencari diameter telur yang besar (telur super) dan 20 untuk penampungan telur biasa.
















Gambar 10. Pemanenan telur  dengan cara disiphon.

Telur yang telah terkumpul dibilas dengan air laut bersih lalu dipindahkan ke dalam bak penetasan atau langsung dipelihara dalam bak pemeliharaan. Bak penetasan dan bak pemeliharaan sering dijadikan satu. Pada kasus ini periode pergantian air harus benar-benar diperhatikan. Padat penebaran awal telur berkisar 5 – 7 butir/cc.
                       





PEMELIHARAAAN LARVA

A. Perkembangan Awal
Proses pembelahan sel terjadi setelah 40 menit pembuahan atau setelah penonjolan polar I dan polar II. Lima menit kemudian sel mulai membelah menjadi dua, lalu 13 menit berikutnya sel membelah menjadi empat. Pembelahan berikutnya menjadi 8 sel, 16 sel, 32 sel dan multi sel atau morula setelah 2,5 jam. Pada setiap bagian tubuhnya berkembang silia kecil-kecil yang berfungsi membantu embrio bergerak. Fase blastula dicapai setelah larva berumur 3,5 jam yaitu gerakanya aktif berputar. Pada fase gastrula (umur 7 jam) bentuknya seperti kacang hijau, bersifat fotonegatifd dan bergerak dengan menggunakan silia.
Beberapa menit setelah silia menghilang gastrula mengalami metamorfosis menjadi Trochofor. Fase ini ditandai dengan adanya flagela tunggal pada bagian anterior yang berfungsi sebagai alat gerak.









            1. Penonjolan polar  I                                2. Penonjolan polar II






            3. Pembelahan dua sel                             4. Pembelahan 4 sel





            5. Fase Morula                                             6. Fase Trochofor


Gambar 11. Perkembangan awal larva

B. Perkembangan Larva
Fase veliger (larva bentuk D) dicapai setelah larva mulai berumur 18 – 20 jam dan berukuran 70 mikron x 80 mikron. Setelah 12 – 14 larva berubah menjadi Fase Umbo (130 u x 135 u ) ditandai dengan adanya tonjolan (umbo) pada bagian dorsal. Padat penebaran mulai dikurangi menjadi 3 – 5 ekor/cc. Larva yang sehat dicirikan oleh aktivitas gerak, distribusi dan warna bagian perut . larva yang sehat tampak bergerak aktif berputar-putar dengan menggunakan silia dan menyebar merata di permukaan air, larva yang sehat banyak makan sehingga warna perutnya kuning tua, yang sedang makannya berwarna kuning dan yang tidak mau makan berwarna kuning muda.
Fase bintik hitam (eye spot) terjadi pada hari ke 16 dan ke 17 dengan ukuran 200 u x 190 u. Setelah 18 – 20 hari berubah menjadi fase pediveliger dengan ukuran 210 u x 200 u. Larva ini mulai mencari tempat untuk menempel. Fase transisi atau fase akhir planktonis larva terjadi pada hari ke 20 -22 atau disebut juga fase Plantigrade ( ukuran 230 u x 210 u ) yang ditandai dengan cangkang baru sepanjang Periphery dan memproduksi benang-benang bisus untuk menempel pada subtrat
Bisus adalah organ tubuh yang bentuknya  seperti rambut atau serat hijau kehitaman. Benang bisus dihasilkan dari sekresi cairan kelenjar bisus. Cairan mengalir ke luar dari lubang pada kaki dan segera akan mengeras saat bereaksi dengan air laut sehingga terbentuklah benang-benang bisus.
Setelah larva menempel pada subtrat selanjutnya akan terjadi proses metamorfosis berubah menjadi spat (Juvenil). Secara keseluruhan proses ini disebut menempel (setting) atau periode spatfall.










Gambar 12. Larva Fase Veliger (D)












                       Gambar 13 . Larva fase umbo ditandai adanya tonjolan pada Dorsal







                       




           Gambar 14. Larva fase pediveliger










                       





Gambar 15. Larva Fase Plantigrade


C. Pemeliharaan  Spat

Spat ditandai dengan terbentuknya garis lurus engsel serta berkembangnya bagian ujung bawah anterior dan posterior. Banang-benang bisus tumbuh dengan sempurna. Secara utuh bentuk spat seperti tiram mutiara dewasa, hanya garis-garis pertumbuhanya masih terlihat jelas.
Waktu dan lamanya penempelan spat di alam tidak saja bervariasi secara tahunan, tetapi juga antara satu daerah dengan daerah lain bisa berbeda, tergantung kondisi lingkungan setempat. Spat menghendaki subtrat yang cocok untuk menempel. Secara umum bahan kolektor yang baik tidak mengeluarkan senyawa kimia jika bereaksi dengan air laut, manarik minat spat untuk menempel dan tidak mengganggu pertumbuhan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kebiasaan atau kesukaan menempel spat adalah kedalaman, bentuk /posisi kolektor, dan permukaan subtrat yang keras dan kasar. Berbagai bahan kolektor yang biasa di gunakan antara lain bahan fiberglass, lempengan semen dengan permukaan kasar dan kolektor dari kaca. Namun dari semua bahan tersebut kolektor kaca yang kurang efektif. Jenis subtrat buatan lain adalah pipa PVC yang dibelah, tali polipropelin, kombinasi keduanya dan tali nilon (monofilamen) dari hasil uji coba kombinasi keduanya yang lebih baik. Posisi yang baik untuk penempatan kolektor adalah dengan posisi horisontal.

D. Perawatan larva.

Pakan diberikan  mulai fase veliger atau larva berbentuk D. Jenis pakan yang diberikan berupa Isochrysis galbana atau  P. Lutheri. Jumlah pakan yang diberikan sebanyak 3.000 – 5.000 sel/cc/hari. Dan diberikan dua kali sehari yaitu pagidan sore hari. Larva ini bersifat fotopositif sehingga tampak berenang dipermukaan. Pada fase Umbo pakan yang diberikan ditambah menjadi 6.000 – 8.000 sel/cc/hari. Aplikasinya dapat divariasi yaitu campuran antara I galbana dan P. Lutheri  dengan perbandingan 1 : 1. Flagelata I. Galbana merupakan pakan yang paling baik untuk larva bivalvia (larva kekerangan).
Setelah mencapai fase spat, pakan campuran Isochrysis sp, Pavlova sp, dan Tetraselmis atau Chaetceros sp. diberikan dengan perbandingan 1 :1 jumlah pakan yang diberikan antara 10.000 – 12.000 sel/cc/hari. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari yaitu pagi dan sore. Jumlah pakan terus ditingkatkan seiring dengan pertumbuhan dan bertambah besarnya ukuran spat. Sekitar 2 – 3 minggu dari spat menempel, pakan diberikan sebanyak 13.000 – 15.000 sel/cc/hari. Setelah berumur tiga minggu bisa diberikan 20.000 sel/cc/hari. Peningkatan jumlah pakan hendaknya disesuaikan dengan preferensi spat. Dengan mengamati sisa pakan yang diberikan, dapat diketahui bahwa spat sedang berselera makan atau tidak. Jika tingkat konsumsi pakan menurun, jumlah pakan bisa dikurangi atau variasi pakan diubah.
Selama  pemeliharaan larva sebaiknya media air yang digunakan disterilkan dahulu dengan sinar ultraviolet sehingga larva dapat terhindar dari infeksi jamur. Selain itu sinar ultra violet juga dapat membunuh spora atau bakteri dan kompetitor yang hidup bersama di media pemeliharaan. Untuk menjaga kualitas air perlu dilakukan penggantian air setiap 23 hari sekali sebanyak 50 – 100 %. Untuk menjaga kualitas air dan membuang kotoran yang berasal dari sisa pakan serta feses maka selama pemeliharaan digunakan sistem air mengalir.
Pemeliharaan larva hingga spat akan berhasil jika memperhatikan terjadinya periode kritis:
  1. Fase Plantigrade yaitu larva mengalami perubahan kebiasaan hidup dari sifat planktonis menjadi spat yang hidupnya menempel (sesil benthik) di dasar.
  2. Pada saat fase D. Yaitu larva pertama kali mulai makan sehingga perlu disediakan pakan yang sesuai dengan bukaan mulut larva.
  3. Pada Fase Umbo yaitu kondisi larva sangat sensitif karena mengalami metamorfosis, tandanya adalah terdapat penonjolan Umbo, terutama fase umbo akhir atau fase bintik hitam.


PENDEDERAN

Kegiatan pendederan merupakan kegiatan lanjutan dari pemeliharaan spat di hatchery. Pendederan dilakukan di laut selama kurang lebih tiga bulan atau sampai spat mencapai ukuran dorso-ventral  2 – 3 cm. Setelah spat berumur 50 – 60 hari atau setelah mencapai ukuran 3 – 5 d-v dapat dipindahkan ke tempat pendederan di laut.

A. Pengangkutan
Teknik pengangkutan spat harus benar-benar diperhatikan, terjadinya mortalitas yang tinggi pada awal pemeliharaan  sebagian besar disebabkan oleh teknik pengangkutan yang kurang baik. Satu minggu menjelang dipindahkan ke laut, pemeliharaan spat di hatchery harus dilakukan dengan sistem air mengalir, minimal selama kurang lebih 12 jam (pagi sampai sore) hal ini bertujuan agar spat mulai  beradaptasi. Dengan adanya gerakanair di dalam bak spat akan terangsang untuk mengeluarkan benang-benang bisus lebih banyak sehingga spat semakin kuat menempel pada subtrat.

1. Pengangkutan kering
Biasanya metode kering digunakan untuk membawa spat dengan jarak jauh atau pengangkutan lewat udara. Kolektor-kolektor dikeluarkan dari dalam bak, ditiriskan beberapa saat, kemudian dimasukkan ke dalam kantong wiring dengan lebar mata 1 mm atau langsung disusun di dalam wadah. Tempat pengangkutan dapat berupa kotak bahan styrofoam, fiberglas atau plastik.
Setiap lapis kolektor diselingi dengan busa atau kain yang dibasahi dengan air laut. Jika lama perjalanan lebih dari dua jam maka perlu diberi es. Pecahan-pecahan es dimasukkan ke dalam kantong plastik dan dibungkus dengan koran, lalu diletakkan pada bagian atas. Setelah pengepakan , kotak ditutup rapat dan dirapatkan dengan lak ban agar suhu di dalam wadah tetap stabil. Metode pengangkutan kering juga bisa digunakan untuk pengangkutan spat ukuran 3 – 5 cm, calon induk dan induk.















Gambar 16. Proses pengangkutan benih Tiram mutiara

2. Pengangkutan basah
Cara pengangkutan basah umumnya digunakan untuk pengangkutan spat dengan jarak tempuh yang relatif dekat, baik dengan kapal maupun kendaraan darat. Pengangkutan dilakukan dengan bak fiberglass atau ember plastik, volume 200 – 300 liter. Dua atau tiga hari sebelum pengangkutan, semua kolektor dimasukkan ke dalam kantong jaring dengan mata jaring 1 mm. Tujuanya adalah jika ada spat terlepas atau jatuh dapat tertampung pada kantong.
Menjelang pengangkutan, kolektor-kolektor dikeluarkan dari bak pemeliharaan dan segera dimasukkan ke dalam bak pengangkutan, yang telah diisi air laut bersih ½ bagian bak. Setiap kolektor disusun dalam posisi horisontal, sampai kira-kira ¾ bagian bak. Untuk menjaga agar suhu dalam bak tetap stabil selama pengangkutan, bak bisa diberi penutup. Jika jarak tempuh kurang dari dua jam.


3 comments:

  1. terima kasih pak ...
    atas ilmu yang dibagikan

    ReplyDelete
  2. Saat ini saya mencoba belajar sambil bekerja di pembenihan tiram...cuma tiram yg untk komsumsi..bkn untuk mutiara..ternyata byk perbedaan ya pak..? Klo di indonesia dmn kita bs mndptkn larva( sprt isocrysis..p... & c..? )Trimksh sblmnya.

    ReplyDelete