\BAB I. KLASIFIKAS DAN
MORFOLOGI
A. Klasifikasi Dan Morfologi Udang Windu
Menurut Tricahyo (
1994 ) klasifikasi udang
windu adalah :
Phyium : Arthopoda
Class : Crustacea
Subclass : Malacostraca
Order :
Decapoda
Suborder : Natantia
Infraorder : Penaidae
Superfamily : Penaeoidae
Family : Penaidae Rafinsque. 1815
Genus : Penaeus
Species : Penaeus monodon fabricus. 1798
Menurut Mudjiman ( 1989 ) tubuh udang terdiri dari 2
bagian yaitu baglian depan dan bagian belakang. Bagian depan disebut bagian
kepala, yang sebenarnya terdliri dari bagian kepala dan dada yang menyatu, oleh
karena itu dinamakan kepala-dada ( cepholothorax
). Bagian perut ( abdomen )
terdapat ekor dibagian belakangnya.
Semua bagian badan beserta anggota-anggotanya terdiri
dari ruas-ruas (segmen). Kepala-dada terdiri dari 13 ruas, yaitu kepalanya
sendiri 5 ruas dan dadanya 8 ruas, sedangkan bagian perut terdiri dari 6 ruas.
Tiap ruas badan mempunyai sepasang anggota badan yang beruas-ruas pula.
Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton yang terbuat dari chitin. Kerangka tersebut mengeras
kecuali pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan. Hal ini
memudahkan mereka untuk bergerak.
Bagian kepala dada tertutup oleh sebuah kelopak yang
dinamakan kelopak kepala atau cangkang kepala (carapace) dibagian depan kelopak kepala meruncing yang pinggirnya
bergigi-gigi. Bagian ini dinamakan cucuk
kepala ( rostrum ).
Dibawah pangkal cucuk kepala mata majemuk yang bertangkai
dan dapat digerak-gerakkan, mulut terdapat dibagian bawah kepala diantara
rahang-rahang ( mandibula ), di kanan
kiri sisi kepala tertutup oleh kelopak kepala terdapat diinsangnya.
Dibagian kepala dada terdapat anggota-anggota tubuh
lainnya yang berpasang-pasangan. Berturut-turut dari muka kebelakang adalah
sungut kecil (anntenula), sirip
kepala (scaphocarit), sungut besar (antena),rahang (mandibula). Alat-alat pembantu rahang (maxilla) yang terdiri dari 2 pasang, maxillaped yang terdiri dari 3 pasang, dan kaki jalan pertama (
kaki jalan ke-1, ke-2, ke-3 ), ujung-ujungnya bercapit yang dinamakan chela.
Di bagian perut (abdomen) terdapat 5 pasang kaki renang (pleopoda)
yaitu pada ruas ke-6 kearah belakang membentuk ujung ekor (telson). Di bawah pangkal ujung ekor terdapat lubang

Gambar 1. Morfologi udang Windu
B. Klasifikasi dan sifat biologi
Udang Vannamae
Udang vaname (Litopenaeus vannamae) hidup di perairan Amerika dan merupakan salah
satu udang putih yang cukup komersial.
Banyak dibudidayakan di Amerika dan kemudian merambah ke Asia Tenggara. Dipilihnya udang vaname ini disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu (1) sangat diminati di pasar Amerika (2) lebih tahan
terhadap penyakit dibanding udang putih lainnya (3) pertumbuhan lebih cepat
dalam budidaya (4) mempunyai toleransi yang lebar terhadap kondisi lingkungan.
Udang vaname termasuk genus Penaeus, namun yang membedakan dengan genus
Penaeus lainnya adalah mempunyai sub
genus Litopenaeus, yang dicirikan
oleh bentuk telikum terbuka tetapi tidak ada tempat untuk penyimpanan sperma.
2.1. Taksonomi
dan Anatomi
Menurut
Wyban dan Sweeney (1991), taksonomi udang vaname adalah sebagai berikut :
Phylum : Arthropoda
Class : Crustacea
Sub class :
Malacostraca
Series :
Eumalacostraca
Super ordo :
Eucarida
Ordo :
Decapoda
Sub ordo :
Dendrobrachiata
Infra ordo :
Penaeidea
Super famili :
Penaeioidea
Famili :
Penaeidae
Genus : Penaeus
Sub genus :
Litopenaeus
Species :
vannamei
Udang
vaname termasuk crustacean, ordo decapoda
seperti halnya udang lainnya, lobster dan kepiting. Dengan kata lain decapoda dicirikan mempunyai
10 kaki, carapace berkembang baik menutup seluruh kepala. Udang penaeid berbeda dengan decapoda lainnya, dimana
perkembangan larva dimulai dari stadia nauplius dan betina menyimpan telur di
dalam tubuhnya.
Pada gambar 2 menunjukkan
anatomi secara keseluruhan dari udang vaname. Udang vaname termasuk genus Penaeus, dicirikan oleh adanya gigi pada
rostrum bagian atas dan bawah serta mempunyai antena panjang. Mempunyai dua gigi di bagian ventral dari
rostrum dan 8 – 9 gigi di bagian dorsal. Udang vaname termasuk sub genus Litopenaeus karena udang betina mempunyai telikum terbuka
tetapi tanpa tempat penyimpanan sperma

Gambar 2. Anatomi lengkap Litopenaeus vannamei
(
Farfante, 1988 dalam Wyban and
Sweeney, 1991)
![]() |
Gambar 3. Anatomi kepala
dan alat reproduksi Litopenaeus vannamei
A – carapace (10 mm), B – petasma (3 mm), C – telikum (3 mm)
(
Farfante, 1988 dalam Wyban and
Sweeney, 1991)
2.2.
Penyebaran
Udang vaname dapat ditemukan di perairan / lautan Pacific mulai dari Mexico, Amerika Tengah dan
Selatan dimana temperatur perairan tidak lebih
dari 20°C sepanjang tahun. Populasi
udang vaname di daerah tersebut selalu kontinyu dan terisolasi. Udang vaname relatif mudah dibudidayakan dan
bisa dilakukan diseluruh dunia.
2.3. Pertumbuhan
Seperti halnya arthropoda lainnya,
pertumbuhan udang vaname tergantung dua faktor yaitu frekuensi molting (waktu
antara molting) dan pertumbuhan (berapa pertumbuhan pada setiap molting baru).
Tubuh udang mempunyai carapace yang keras, sehingga pada setiap kali molting
carapace terlepas, terjadi pembagian cuticle antara carapace dan intercalary
sclerite, dimana cephalothorax dan appendic anterior akan terbentuk. Carapace baru pada awalnya lunak, tetapi
jika ukuran udang sudah proporsional akan mengeras kembali, biasanya antara
satu sampai dua hari.
Frekuensi molting erat kaitannya
dengan ukuran udang, jika udang tumbuh
frekuensi molting meningkat. Pada stadia
larva, molting terjadi setiap 30-40 jam pada temperatur 28°C. Juvenil udang ukuran 1 – 5 gram akan molting
setiap 4-6 hari, tetapi juvenil udang ukuran 15 gram akan molting dengan
interval 2 minggu.
Frekuensi molting dipengaruhi oleh
faktor kondisi lingkungan dan nutrisi.
Misalnya temperatur lebih tinggi,
maka frekuensi molting meningkat.
Absorsi oksigen tidak efisien selama molting dan biasanya akan mati
karena hypoxia.
Ketika carapace masih lunak setelah
molting, udang akan dimangsa oleh kawannya.
Oleh sebab itu, biasanya udang
akan mencari tempat terlindung di detritus yang lunak. Karena molting sebagai kontrol pertumbuhan
dan udang dalam kondisi riskan, dicoba untuk membuat kondisi budidaya yang
nyaman sehingga molting tidak membuat udang stress.
2.4.
Makan dan
Kebiasaan makan
Udang penaeid cenderung omnivorus atau detritus feeder. Dari studi yang dilakukan isi pencernaan
terdiri dari carnivor di alam, jasad renik / crustacea kecil, amphipoda, dan
polychaeta. Pada tambak intensif dimana
tidak ada jasad renik, udang akan memangsa
makanan yang diberikan atau detritus.
Pada tambak yang alami, alga dan bakteri yang berkembang pada kolom air
adalah sumber nutrisi yang penting bagi udang vaname, dan meningkatkan
pertumbuhan sebesar 50% dibanding tambak yang jernih. Dapat dikatakan bahwa udang tumbuh optimum
pada tambak yang berimbang dengan komunitas mikroba.
Udang vaname tidak makan sepanjang hari tetapi hanya beberapa waktu saja
sepanjang hari. Dengan tingkah laku
makan seperti itu, dapat diaplikasikan
pada budidaya bahwa pemberian pakan dapat berupa pellet yang diberikan beberapa
kali dalam satu hari. Dari penelitian
membuktikan bahwa pemberian pakan beberapa kali sehari memberikan pertumbuhan
yang lebih baik dari pada satu kali sehari.
Udang vaname membutuhkan pakan dengan 35% kandungan protein, lebih rendah
dari pada yang dibutuhkan oleh udang P.monodon dan udang P.japonicus. Jika digunakan pakan
dengan kandungan protein tinggi (45%), pertumbuhan cepat dan produksi tinggi
tetapi biaya mahal, sehingga lebih visibel dengan pakan protein rendah. Pakan yang mengandung ikan dan cumi-cumi akan
memacu pertumbuhan.
2.5.
Siklus
hidup
Secara alami udang vaname termasuk jenis katadromus, yaitu udang dewasa hidup di laut terbuka dan udang muda migrasi ke arah pantai. Perkembangan stadia seperti pada gambar 3. Di habitat aslinya, udang matang gonad
(matur), kawin (mating) dan bertelur (spawning) berada pada perairan dengan
kedalaman sekitar 70 meter di Amerika selatan, tengah dan utara, dengan suhu 26
- 28°C dan salinitas sekitar 35 ppt.
Telur menetas dan larva berkembang di
laut dalam sebagai tempat berkembangnya zooplankton. Post larva udang vaname bergerak mendekati pantai dan menetap di dasar estuari /muara. Di estuari, tersedia nutrien,
air laut dengan salinitas dan suhu yang bervariasi dari pada di laut terbuka. Setelah beberapa bulan di estuari, udang muda
kembali ke lingkungan laut menjauhi pantai, dimana aktivitas matur, mating dan
spawning terjadi.
|
Gambar 4. Siklus hidup udang Penaeus
sp :
1- udang betina dewasa spawning; 2-
telur; 3- larva (nauplius);
4- larva (zoea); 5- larva (mysis); 6- post
larva; 7-juvenil
(Wickins, 1976 dalam Wyban and Sweeney, 1991)
2.6.
Karakteristik budidaya
Udang vaname mempunyai karakteristik budidaya yang sangat bagus. Udang tumbuh dengan cepat sampai ukuran 20
gram, dengan laju pertumbuhan 3 gram per minggu dalam kepadatan 100 ekor /m2
. Setelah 20 gram, udang tumbuh
lambat yaitu 1 gram per minggu dan betina tumbuh lebih cepat dari pada jantan.
Udang mempunyai toleransi salinitas yang cukup lebar yaitu 2 – 40 ppt, tetapi
akan tumbuh lebih cepat pada salinitas rendah, ketika terjadi isoosmotic antara
lingkungan dan darah. Pada salinitas 33
ppt larva udang vaname tumbuh sangat bagus.
Temperatur juga sangat mempengaruhi pertumbuhan. Udang akan mati jika berada pada suhu
dibawah 15°C atau diatas 33°C dalam waktu 24 jam atau lebih. Sub letal stres terjadi pada 15-22°C dan
30-33°C. Temperatur optimum untuk udang
vaname adalah antara 23 - 30°C.
Efek temperatur terhadap
pertumbuhan adalah perkembangan stadia dan ukuran. Sebagai contoh, udang kecil (1 gram) tumbuh
cepat dalam air hangat (30°C), udang medium (12 gram) dan udang besar (18 gram)
pertumbuhan tercepat terjadi pada temperatur 27°C dari pada pada 30
C. Klasifikasi dan Morfologi Udang
Putih
Udang putih termasuk ke dalam famili Penalidae yang dicirikan oleh rostrum
yang bergerigi di kepala. Termasuk dalam genus Penaeus karena butir atau daur
bawah rostrum bergerigi dan tak ada stea di tubuhnya, klasifikasinya sebagai
berikut:
Famili : Penalidae
Genus : Penaeus
Species : Merguiensis
Kulit halus, kalau diraba terasa licin dan mengkilat. Warna badannya putih
kekuning-kuningan. Terdapat bintik-bintik coklat dan hijau pada ujung ekor.
Pada sungut yang pendek (antenulla),
terdapat warna belang-belang merah sawo. Kaki jalan dan kaki renangnya berwarna
kekuning-kuningan atau kadang-kadang kemerah-merahan. Sungut yang panjang (antenna) berwarna kemerah-merahan, sirip
ekor atau ekor kipas (uropoda)
berwarna merah. Panjang badan dapat mencapai 25 cm, umumnya tertangkap pada
ukuran 15 - 25 cm.
Daur hidup dan Ekologi
Udang putih hidup di perairan pantai dan laut bebas yang agak berlumpur
atau pasir. Daur hidup udang putih di laut terlihat pada Gambar 1. Larva
bersifat planktonis, sebagai makanan adalah fitoplankton kecil dan zooplankton.
Terdapat tiga stadia yaitu nauplius, zoea, mysis. Sepuluh hari setelah menetas
, larva bermetamorfosa menjadi post larva dan meraka mulai bergerak ke pantai
mengikuti gerakan arus yang akhirnya menetap pada daerah estuarin, muara
sungai, hutan bakau. Pada stadia juvenil makanan utama adalah alga, detritus
dan benthos kecil. Pada panjang total 5 cm juvenil mulai bergerak ke pantai dan
akhirnya dewasa mereka menuju ke laut bebas.
Kematangan gonad
pertama kali terjadi pada individu yang berukuran 125 mm – 152 mm tergantung
dari habitatnya
Soal-soal Latihan :
1.
Sebutkan Klasifikasi dan morfologi udang Windu, udang
Putih dan udang Vaname.
2.
Sebutkan sfat-sifat biologis udang Windu, udang Putih dan
udang Vaname.
3.
Jelaskan daur hidup dari masing – masing jenis udang
tersebut di atas.
BAB II. PENGADAAN INDUK
A. Seleksi Induk
Penyediaan induk masak telur merupakan mata rantai awal dalam kesinambungan produksi pembenihan
secara keseluruhan, keberhasilan ataupun kegagalan. Kegiatan ini menentukan
rangkain kegiatan selanjutnya. Calon induk yang akan dijadikan induk dalam rangkain
kegiatan pembenihan udang hendaknya memenuhi syarat.
1. UDANG WINDU


2. UDANG VANNAMAE
Pada awalnya, induk vannamei yang digunakan adalah induk yang diimpor dari
Hawai dan Florida. Perkembangan
selanjutnya, akibat tingginya permintaan benur dan cepatnya perkembangan gonade
induk vaname hasil domestikasi, maka
sebagian hatchery mulai menggunaan induk
hasil budidaya tambak. Dari pengamatan di lapangan, metoda penyediaan
induk yang dilakukan oleh masyarakat yaitu dengan memelihara lebih lanjut
setelah usia panen untuk konsumsi yang disertai dengan seleksi pertumbuhan.
Dampak dari penggunaan induk asal
tambak tersebut jika tanpa mengetahui asal usul calon induknya dan kesalahan prosedur
yang dilakukan dalam seleksi induk bisa
berakibat penurunan sifat genetik secara cepat. Keragaan benih yang
diakibatkan oleh penurunan genetik ditandai dengan laju pertumbuhan,
kelangsungan hidup, kemampuan mengkonversi pakan, resistensi terhadap penyakit,
ketahanan terhadap perubahan lingkungan menjadi lebih rendah. Setelah berjalan ± 5 tahun, banyak petani
tambak yang berusaha menghasilkan induk yang telah didomestikasi untuk proses
pembenihan tersebut. Usaha ini nampaknya
berhasil, hatchery dapat memproduksi benur secara berlimpah dan mencukupi untuk
memasok tambak. Jadi induk yang
digunakan untuk produksi benih pada prinsipnya dapat menggunakan induk impor
atau induk hasil domestikasi.
Induk vaname yang boleh digunakan adalah induk yang berasal dari luar
negeri yang tersertifikasi atau induk hasil budidaya yang mengikuti kaidah
pemuliaan dan terpantau. (RSNI induk udang vanname, 2004). Sebelum digunakan induk vaname tersebut harus melalui
proses karantina terlebih dahulu, udang
dipindahkan ke bak sementara untuk pengecekan morfologis dan penyakit. Sampel udang dikirim ke lab untuk diperiksa
virus, bakteri dan parasit. Pengamatan morfologis dan organoleptik sebagai
berikut :
q
Warna
|
Punggung
bening kecoklatan, transparan, uropoda transparan/ujung ekor terdapat bintik
merah
|
q
Bentuk
tubuh
|
Anggota
tubuh lengkap, punggung tidak patah/retak,
|
q
Kesehatan
|
Tubuh
tidak ditemapeli parasit, tidak ada bercak hitam, tidak berlumut, tidak ada
luka, insang bersih, tidak bengkak, lendir tidak berlebihan
|
q
Kekenyalan
tubuh
|
Tidak lembek, tdak keropos
|
q
Gerakan
|
Aktif
normal, kaki+ekor membuka di dalam air
|
Kriteria induk yang baik antara lain : ukuran induk memenuhi persyaratan,
untuk udang vanname : betina > 18 cm/40 gram dan jantan > 17 cm/35 gram;
Tubuh tidak cacat, warna cerah; Organ tubuh lengkap dan normal; Organ
reproduksi dalam kondisi baik dan
terbukti bebas virus WSSV, TSV dan IHHNV
yang dideteksi dengan analisa PCR (RSNI induk udang vanname, 2004).
3. UDANG PUTIH
Induk betina dapat diperoleh dari laut bebas. Induk alam diseleksi dari
hasil tangkapan nelayan yang penangkapanya menggunakan gilnet dasar. Perbedaan
sex udang putih dapat dilihat dengan melihat organ luarnya. Udang betina
memiliki telycum yang terletak pada pangkal kaki jalan ke 5. sedangkan jantan
memiliki petasma yang dibentuk sebagai sepasang endopod dari kaki renang
pertama dan sepasang appendix masculina yang terletak pada kaki renang ke 2.
Kriteria calon induk yang baik dan memenuhi syarat adalah:
1.
Ukuran badan minimal 25 gr
2.
Gerakan aktif tidak ada tanda-tanda penyakit
3.
Sudah matang gonad
4.
Organ tubuh lengkap
5.
Alat kelamin utuh.
Seleksi induk dilakukan pada saat transaksi pembelian dilakukan, bukan di
hatchery. Asal induk juga perlu mendapat perhatian, karena semakin jauh,
berarti semakin lama perjalanan, sehingga peluang stres pada induk lebih besar.
B. Pengangkutan Induk
Sistem pengangkutan yang digunakan untuk memindahkan induk dari lokasi
penampungan menuju ke unit pembenihan dapat dilakukan dengan menggunakan dua cara yakni:
1. Menggunakan kantong plastik ( sistem tertutup ).
Kantong plastik yang digunakan adalah kantong plastik khusus untuk
pengangkutan induk. Kantong plastik diisi air dan diberi oxigen murni dengan
perbandingan air dan oxigen 1:2. atau bisa juga dengan menggunakan suplai
oksigen dengan memasang aerator selama pengangkutan. Kepadatan atau jumlah
induk setiap kantongnya tergantung jenis dan ukuran induk udang. Untuk udang
windu : betina 6 - 8 ekor dan jantan 8 – 10 ekor, udang putih/vannamae dapat
diisi 15 – 20 ekor.
2. Menggunakan
wadah yang dilengkapi aerasi ( sistem terbuka )
Wadah yang umum digunakan adalah box strefom dengan ketebalan 2 cm
ditempatkan pada bak alumunium yang berukuran sama. Sebagai sumber oksigen
digunakan aerator portebel yang ditempatkan di tengah-tengah atas.
Dalam kedua cara tersebut, temperatur air diturunkan perlahan-lahan sampai
22 – 24 0C dengan penambahan es baik ke dalam air penampungan maupun
di bagian luar kantong.

Gambar pengangkutan induk secara tertutup
Penanganan induk di bandara
1. Pemeriksaan kondisi induk
2. Paking ulang, ganti/tambah air baru
3. Pengisian ulang oksigen dikantong
induk


Gambar penanganan induk di bandara
C. Penanganan
Induk di bak Karantina
Induk yang baru tiba dari pengangkutan harus diaklimatisasikan sebelum
ditebar dalam bak pemeliharaan. Tujuannya adalah agar induk dapat menyesuaikan
dirinya dengan suasana baru dalam bak
pemeliharaan, dengancara sebagai berikut:
1.
Kantong induk diturunkan dari kendaraan pengangkut.
2.
Kemasan dibuka dan menambahkan oksigen murni pada
kantong/wadah pengangkutan
3.
Secara bertahap air dari bak dimasukkan ke dalam kantong,
proses ini dilakukan secara bertahap sehingga tidak mrnimbulkan stres pada
induk.
4.
Treatmen iodine 75 ppm 1 jam
5.
Selanjutnya induk sudah siap dimasukkan ke dalam bak
karantina
6.
Analisa PCR
Soal – soal Latihan :
1.
Jelaskan kriteria/ciri-ciri calon induk yang memernuhi
syarat :
a.
Udang Windu
b.
Udamg Putih
c.
Udang Vaname
2.
Jelasakan teknik - teknik pengangkutan !
3.
Sebutkan teknik – teknik aklimatisasi !
BAB III. PEMELIHARAAN DAN PERAWATAN INDUK
A. Persiapan Media
Bak pemeliharan induk umumnya berkontruksi beton, atau beton berlapis
fibreglass. Untuk udang Windu umumnya
berbentuk bulat, sedangkan untuk udang putih/vannamae kebanyakan menggunakan
bentuk empat persegi panjang dengan sudut-sudut tumpul. sebelum digunakan bak
harus dicat terlebih dahulu dengan cat khusus air laut dan bahan kimia
contohnya adalah ”Danapaint Upox” warna cat untuk bak pemeliharaan biru laut.

Gambar bak Induk
Persiapan media pemeliharan
dilakukan dengan cara pencucian bak, selang aerasi dan batu aerasi dan
pengisian air laut. Pencucian bak dilakukan dengan cara ; dinding dan dasar bak
disiram dengan larutan kaporit atau formalin dengan dosis 100-200 ppm, setelah
beberapa menit dibilas dengan air tawar, selanjutnya digosok dengan rinso atau
detergen, kemudian dibilas kembali dengan air tawar sampai bersih. Selang-selang
aerasi dipasang 1,5 buah tiap m2
Air yang digunakan harus air yang sudah disaring dan ditreatment, saat
dimasukkan kedalam bak, pada ujung selang dipasang saringan kantong ( filter
bag ). Kedalaman air 60-80 cm.Terpal dipasang menutup permukaan bak, sehingga
suasana dalam bak gelap gulita.Hal ini memberikan manfaat bagi induk yang
dipelihara yaitu :
1.
Mengurangi stres
2.
Meningkatkan nafsu makan..
3.
Memberikan suasana rangsangan yang lebih tinggi
B. Penebaran
Kepadatan induk dalam bak pemeliharaan adalah :
1.
Udang Windu 2 – 3 ekor /m2, dengan
perbandingan jantan dan betina 1:2 atau 2:3,
2.
Udang Vannamae 8
ekor/m2 , dengan perbandingan jantan dan betina 1 : 1,
3.
sedangkan Udang Putih 10 ekor/m2 dengan
perbandingan jantan dan betina 1 : 3.
C. Perawatan dan
pemeliharaan induk
1. Pemberian Pakan
Di dalam bak pematangan, pemenuhan kebutuhan gizi udang sangat tergantung
pada mutu pakan yang diberikan. Karenanya pemilihan jenis pakan yang diberikan
harus tepat baik mutu maupun jumlahnya.
Seperti halnya dengan jasad aquatik lainnya, udang memerlukan pakan yang :
a). Berkadar protein tinggi yang lengkap mengandung
kesepuluh asam amino essensial, termasuk tyrosin.
b). Berlemak,
khususnya komposisi asam-asam lemak essensial dan sterol.
c). Hidrat arang,
vitamin dan Mineral.
Jenis-jenis pakan yang diduga memenuhi persyaratan tersebut dan sudah umum
digunakan adalah daging cumi-cumi, hati sapi, kerang, udang rebon, rajungan
atau kepiting dan cacing laut. Jumlah
pemberian sebelum induk diablasi 10 -15%
dari berat badan /hari. Jika sudah diablasi dan induk mulai membentuk telurnya
dosis pakan dapat mencapai 15 - 20 % dari berat badan/hari. Pakan diberikan 4
kali dalam 24 jam, mulai pukul 06.00, 12.00, 18.00, 24.00.
2. Pengelolaan
Kualitas Air
Untuk menjaga agar mutu air tetap baik dan optimal, selama masa
pemeliharaan, harus dilakukan pengelolaan kualitas air. Adapun pengelolaan
kualitas air yang dapat dilakukan selama masa pemeliharaan/pematangan induk
adalah :
·
Pengontrolan parameter kualitas air seperti : suhu ( 29 -
31 oC) dan salinatas 29 – 32 ppt.
·
Pembersihan kotoran dan sisa-sisa pakan, tiap pagi dan
sore hari, sebelum dilakukan sirkulasi.
·
Sirkulasi air pada pagi dan sore hari, sebanyak 100%.
3. Pengendalian
Penyakit
Pengendalian penyakit merupakan salah satu kegiatan yang harus dilakukan,
karena serangan penyakit dapat menyebabkan kematian pada induk. Upaya pengendalian
penyakit pada pemeliharaan induk dapat
dimulai sejak masa persiapan, yakni penggunaan peralatan yang telah
disterilkan, penggunaan air yang telah disaring dan ditreatment. Sedangkan
pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan pemberian Iodin setiap 2 hari
sekali, sebanyak 1 – 2 ppm, serta
pemberian anti jamur dan protozoa (formalin ) sebanyak 1 – 5 ppm. Jika terdapat gejala serangan penyakit,
biasanya terjadi pengikisan ujung ekor (uropoda), kaki renang, dan bagian depan
kepala. Pengikisan ini selalu diikuti infeksi sekunder oleh bakteri dan jamur.
Pengobatan dilakukan dengan perendaman air laut yang diberi campuran malachite
green oxalat 0,1 ppm dan formalin 15 ppm selama 5 menit. Sirkulasi air diperbanyak
dan pakan jangan sampai kurang.
BAB IV. ABLASI DAN
PEMATANGAN GONAD
Semua
golongan arthropoda, termasuk udang mengalami proses pergantian kulit atau
molting secara periodik, sehingga ukuran tubuhnya bertambah besar. Agar udang
bisa tumbuh menjadi besar, secara periodik akan melepaskan jaringan penghubung
antara epidermis dan kutikula ekstraseluler, segera melepaskan diri dari
kutikula (cangkang), menyerap air untuk memperbesar tubuh dan eksoskeleleton
yang baru dan selanjutnya terjadi proses pengerasan dengan mineral-mineral dan
protein. Proses molting ini menghasilkan peningkatan ukuran tubuh (pertumbuhan)
secara diskontinyu dan secara berkala. Ketika molting, tubuh udang menyerap air
dan bertambah besar, kemudian terjadi pengerasan kulit. Setelah kulit luarnya
keras, ukuran tubuh udang tetap sampai pada siklus molting berikutnya.
Dalam
kondisi molting, udang sangat rentan terhadap serangan udang-udang lainnya,
karena disamping kondisinya masih sangat lemah, kulit luarnya belum mengeras,
udang pada saat molting mengeluarkan cairan molting yang mengandung asam amino,
enzim dan senyawa organik hasil dekomposisi parsial eksoskeleton yang baunya
sangat merangsang nafsu makan udang. Hal tersebut bisa membangkitkan sifat
kanibalisme udang yang sehat.
Ekdisis
(proses molting) merupakan suatu rangkaian proses yang sangat kompleks yang
dimulai beberapa hari atau bahkan beberapa minggu sebelumnya. Pada dasarnya
setiap jaringan terlibat dalam persiapan untuk molting yang akan datang, yaitu
:
- Cadangan lemak
dalam jaringan hepatopankreas dimobilisasi.
- Pembelahan sel
meningkat.
- Diproduksi
mRNA yang baru, diikuti oleh sintesis senyawa protein baru.
- Terjadi
perubahan tingkah-laku.
Proses
yang rumit ini melibatkan kordinasi sistem hormonal dalam tubuh udang. Siklus
molting berlangsung melalui beberapa tahapan. Pada beberapa spesies,
masing-masing mempunyai tahapan dan definisi sendiri-sendiri. Pada udang ada 4
tahapan, yaitu:
Postmolt, Postmolt
adalah tahapan beberapa saat setelah proses eksuviasi (penanggalan eksoskeleton
yang lama). Pada tahapan ini terjadi pengembangan eksoskeleton yang disebabkan
oleh meningkatnya volume hemolymph akibat terserapnya air ke dalam tubuh. Air
terserap melalui epidermis, insang dan usus. Setelah beberapa jam atau hari
(tergantung pada panjangnya siklus molting), eksoskeleton yang baru akan
mengeras.
Intermolt, Pada
tahapan ini, eksoskeleton menjadi semakin keras karena adanya deposisi mineral
dan protein. Eksoskeleton (cangkang) udang relatif lebih tipis dan lunak
dibandingkan dengan kepiting dan lobster.
Early Premolt, Pada
tahapan early premolt (premolt awal) mulai terbentuk epicuticle baru di bawah
lapisan endocuticle. Tahapan premolt dimulai dengan suatu peningkatan
konsentrasi hormon molting dalam hemolymph (darah).
Late Premolt, Pada
tahapan premolt akhir terbentuk lagi lapisan exocuticle baru di bawah lapisan
epicuticle baru yang terbentuk pada tahapan early premolt. Kemudian diikuti
dengan pemisahan cangkang lama dengan cangkang yang baru terbentuk.
Eksoskeleton (cangkang) lama akan terserap sebagian dan cadangan energi
dimobilisasi dari hepatopankreas. Ecdysis (pemisahan cangkang)
sebagai suatu tahapan hanya berlangsung beberapa menit saja, dimulai dengan
membukanya cangkang lama pada jaringan penghubung bagian dorsal antara thorax
dengan abdomen, dan selesai ketika udang melepaskan diri dari cangkangnya yang
lama. Siklus molting dikendalikan oleh hormon molting yang dihasilkan oleh
kelenjar molting yang terdapat di dalam ruang anterior branchium, dan disebut Y
- organ.
A. Pengertian Ablasi
Berbeda dengan udang di laut, induk yang dipelihara dalam
bak terkontrol tidak bisa mengalami kematangan gonad (telur) sehingga
memerlukan rangsangan buatan agar induk mau kawin dan berkembang telurnya.
Teknik perangsangan buatan yang telah terkenal berdaya guna untuk induk udang adalah ABLASI, secara singkat ablasi diartikan sebagai pengrusakan atau pemotongan
salah satu bola mata dan tangkai mata.
Pada prinsipnya, ablasi dilakukan dengan tujuan untuk
mempercepat proses matang gonad atau matang telur pada induk betina. Hal ini dapat
terjadi karena pada mata terdapat ” X ”- organ yang memproduksi Gonad
Inhibiting Hormon (GIH), dimana GIH ini dapat menghambat daya kerja GSH (Gonad
Stimulating Hormon) yang diproduksi oleh ” Y ”- organ yang terletak pada
kepala, yang fungsinya untuk merangsang perkembangan gonad/telur. Sehingga
dengan dilakukannya ablasi ( pengrusakan/penghilangan sebagian ”X”- organ, yang
menghasilkan GIH), maka produksi GIH akan berkurang dan GSH lebih dominan,
sehingga daya kerja GSH berjalan dengan lancar atau sempurna dalam proses
mempercepat kematangan gonad/telur.
Ablasi mata hanya dilakukan pada induk betina yang
mempunyai kulit keras an tidak sedang ganti kulit, sedangkan jantan tidak perlu
diablasi karena tanpa proses ablas, spermanya akan berkembang dengan sempurna
(Adiyodi, 1970 dalam Trijoko, 1993).
B. Macam-macam Teknik Ablasi
Beberapa teknik ablasi yang umum diterapkan, diantaranya adalah :
1.
Memecahkan salah satu bola mata induk dengan jari tangan
dan mengeluarkan seluruh isinya.
2.
Mengikat tangkai mata dengan karet
3.
Menggunting salah satu tangkai mata dengan gunting dan
diikuti dengan penyolderan dengan solder panas
4.
Menjepit salah satu tangkai mata dengan gunting jepit
yang telah dipanaskan hingga membara.

Gambar
ablasi teknik pemencetan

Gambar ablasi teknik pengikatan

Gambar ablasi teknik pemotongan

Gambar ablasi teknik penjepitan dengan
gunting panas
C.Pematangan
gonad
Pada udang vaname perkembangan gonad
ditandai dengan perkembangan ovari yang terletak di bagian dorsal tubuh udang
dan berwarna orange , sedangkan pada
udang jantan kematangan gonad terlihat
jelas pada kantong sperma yang berwarna putih penuh berisi sperma (Wyban and
Sweeney, 1991).
|
||||
|
||||
![]() |
Gambar 12. Induk betina Matang telur Gambar 13. jantan matang gonad
Induk-induk dari karantina tersebut kemudian masuk di bak
pematangan/maturasi dengan kepadatan 8 ekor/m2. Perkembangan gonad udang ini
dapat dipacu dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas pakan, yaitu dengan memberikan pakan yang mengandung
protein tinggi. Pakan segar yang dapat
memacu perkembangan gonad udang vaname adalah cacing laut (Nereis sp) atau cacing tanah (Lumbricus
sp), juga diberikan tiram/kerang-kerangan dengan jumlah untuk cacing 9% dan
kerang-kerangan 16% dari total biomas per hari.
Disamping intensif pakan, juga dilakukan ablasi mata terhadap induk
betina yang dapat dilakukan dengan beberapa metoda seperti menggunting tangkai
mata, atau memencet bola mata, atau memencet tangkai mata dengan pinset panas,
dan ada juga yang menggunakan benang untuk memutuskan tangkai mata.
D. Pemeriksaan
Ovari
Secara periodik tingkat kematangan gonad telur harus
diperiksa. Pemeriksaan ini dinamakan sampling tingkat kematangan gonad.
Sampling ini dilakukan setiap hari. Karena jika sampling terlambat dilakukan
induk yang sudah matang telur akan melepaskan telurnya di bak perkawinan.
Sampling dilakukan dengan mengurangi kedalaman air bak hingga 60%. Aerasi
dikurangi hingga tdk mengganggu pandangan. Kemudian satu persatu induk
ditangkap dengan serok induk. Dengan tetap berada dalam air, induk disorot
dengan senter kedap air dari arah ventral, hingga punggungnya terlihat
transparan. Induk yang telah mengalami kematangan di tandai dengan adanya garis
tebal warna gelap di daerah punggung bentuk lengkungan seperti bulan sabit
diderah kepala. Induk betina akan melepaskan telur dalam waktu 11 hari setelah ablasi.
Induk yang mengalami kematangan telur dipindah kedalam bak peneluran.
Sedang yang belum mengalami kematangan telur dikembalikan kedalam bak
pematangan. Kegiatan sampling harus dilakukan dengan hati-hati dan cermat,untuk
menghindari terjadinya stres pada induk.

TK. I TK. II TK.III TK.IV
Gambar Tingkat kamatangan gonad
Tingkat kematangan gonad/telur(udang windu/putih) diukur
berdasarkan perkembangan ovarynya, karena hanya perkembangan ovary yang dapat
dilihat dari luar. Untuk tujuan tersebut perkembangan ovary dibagi dalam 4
tingkatan, yaitu :
- Tingkat I (Early maturing stage) : garis ovary
kelihatan hijau kehitaman, kemudian membesar pada akhir tingkat I, garis
ini tampak berupa garis lurus tebal.
- Tingkat II (Late maturing stage) : warna ovary
semakin jelas dan semakin tebal, pada akhir tingkat II ini ovary membentuk
gelembung pada abdomen yang pertama. Pada tingkat ini sebetulnya udang
sudah dapat melepaskan telurnya.
- Tingkat III (The maturing stage) : terbentuk satu
gelembung lagi, sehingga ovarynya mempunyai 2 gelembung pada ruas abdomen
pertama dan kedua. Ovary terlihat meluas sampai kebagian kepala.
Kadang-kadang gelembung pada ruas pertama membentuk cabang dibagian kanan
dan kiri yang menyerupai bulan sabit. Tingkat inilah yang merupakan fase
terakhir dari fase kematangan telur sebelum udang melepaskan telurnya.
Pada tingkat inilah induk-induk udang harus segera dipindahkan ke bak
pemijahan/peneluran.
- Tigkat
IV (Spent recovering stage) : telur telah dilepaskan, ovary kelihatan
pucat. Tanda ini dalam 2 hari akan hilang.

Gambar
sampling TKG pada udang Windu
E. Perkawinan
Pada udang penaeus mating (perkawinan)
terjadi pada waktu udang sedang molting dan udang betina belum
berkembang ovarinya, sehingga sperma yang dikeluarkan disimpan pada
telikum. Tetapi pada udang vaname,
mating terjadi setelah udang betina matang ovarinya yang terlihat berwarna
orange dan mengeluarkan feromone. Dengan feromone inilah udang jantan terangsang untuk
mendekati betina dan mating serta sperma
yang dikeluarkan /ditempelkan pada telikum bagian luar, sehingga 1 – 2 jam kemudian udang betina akan segera mengeluarkan
telur dan terjadi pembuahan (Wyban and Sweeney, 1991).
Melihat tingkah laku mating dari
udang vaname, maka dapat dilakukan 2 teknik/metoda dalam perkawinan. Metoda pertama, induk betina dan jantan
dipisah, setelah induk betina matang gonad dilakukan seleksi (pukul 15.00 –
17.00) baru kemudian dipindah ke bak
induk jantan , setelah mating induk segera diambil dan dipindah ke bak spawning
(pukul 20.00 – 22.00). Sedangkan metoda
kedua, induk betina dan jantan dicampur dalam satu bak, setelah induk betina matang gonad dan terjadi
mating (pukul 20.00 – 22.00), maka segera diambil dan dipindah ke bak spawning.
Perbandingan jantan dan betina adalah 1 : 1 dengan kepadatan 8 ekor/m2, suhu pada bak pematangan dan perkawinan yang
paling optimal adalah 27 - 28°C dan kondisi stabil, untuk itu disarankan menggunakan sistem
resirkulasi air.
F. Pemijahan dan Penetasan
Derajat pembuahan dan penetasan sangat ditentukan oleh kualitas sperma dan
kemampuan penempelan pada telikum serta media penetasan (suhu dan salinitas).
Beberapa kegagalan yang mungkin terjadi adalah tidak terjadinya pembuahan yang
disebabkan induk betina belum matang telur atau rusaknya spermatofor (
Djunaidah, 1986).
Induk yang telah dikawin yang dicirikan adanya penempelan sperma pada
telikum, dipindahkan ke dalam bak
spawning/pemijahan dengan kepadatan 4 ekor/m2.
1 – 2 jam kemudian induk akan melepaskan telurnya. Keesokan harinya induk diangkat dan dikembalikan ke bak pematangannya, sedangkan telurnya diberi aerasi merata dan dibersihkan dari kotoran dan lendir-lendir yang tertinggal. Telur akan menetas 16 – 18 jam sedangkan untuk udang windu telur akan menetas setellah 10 – 12 jam dan udang putih akan menetas setlah 13 – 14 jam dari pemijahan dan dipanen keesokan harinya.
1 – 2 jam kemudian induk akan melepaskan telurnya. Keesokan harinya induk diangkat dan dikembalikan ke bak pematangannya, sedangkan telurnya diberi aerasi merata dan dibersihkan dari kotoran dan lendir-lendir yang tertinggal. Telur akan menetas 16 – 18 jam sedangkan untuk udang windu telur akan menetas setellah 10 – 12 jam dan udang putih akan menetas setlah 13 – 14 jam dari pemijahan dan dipanen keesokan harinya.
Pemanenan naupli
dilakukan dengan memberikan lampu diatas bak penetasan karena sifat naupli
phototaxis positip, setelah naupli terkumpul dilakukan pemanenan dan ditampung
di bak fiber volume 500 liter.
Penghitungan naupli dilakukan dengan cara sampling dengan mengambil 5 kali botol sampling
Soal – soal Latihan :
1.
Jelaskan cara persiapan media pemeliharaan induk !
2.
Sebutkan dan jelaskan kriteria pakan induk yang memenuhi
syarat !
3.
Jelaskan prinsip dasar dari ablasi
4.
Jelaskan metode/cara –cara perkawinan pada udang Windu
dan udang Vaname !
5.
Jelaskan ciri – ciri tingkat kematangan gonad pada udang
windu dan udang vaname !
BAB V. PEMIJAHAN
DAN PENETASAN TELUR
A. Persiapan media
Media untuk pemijahan(peneluran) umumnya juga sekaligus
sebagai media penetasan. Bak untuk media peneluran dapat berupa bak beton, bak
fiberglass, ataupun bak beton berlapis fiberglass. Bentuk bak ada yang segi
empat oval, bulat, dan kerucut. Bak kerucut memudahkan dalam melaksanakan panen
larva(Nauplius) hasil penetasan, dan dapat menghindari pengendapan telur
didasar bak.
Persiapan media meliputi pencucian. Bak dicuci dengan
sabun dan penggosok. Kemudian dibilas dengan air tawar bersih. Air laut
dimassukkan melalui saringan kantong(Filter bag). Penyaringan untuk air
peneluran dan penetasan harus lebih baik dibanding untuk induk.
Kedalaman air dalam bak berkisar 60-80 cm. Untuk lebih
memberikan kondisi yang lebih baik bagi induknya yang akan bertelur, kadang
kala air air diberi campuran EDTA 8-10 ppm, kemudian air diaerasi dengan kuat
sambil menuggu saat induk dimasukkan kedalam bak peneluran. Permukaan bak
ditutup dengan terpal atau yang sejenis agar bersuasana gelap. Suasana yang
gelap memberikan rangsangan yang lebih baik kepada induk untuk bertelur.
B. Peneluran
1). Udang Windu
Induk yang sudah disampling dimasukkan kedalam bak
peneluran pada sore hari, aerasi dalam bak dikecilkan agar tidak mengganggu
ketenangan induk. Jumlah induk yang ditelurkan dalam bak berfariasi 1-2 m2
/ ekor. Penulis sering mencoba dalam bak kerucut dengan volume 800 liter
ditelurkan sampai tiga ekor.
Selama dalam proses peneluran berlangsung, suasana dalam
ruang harus dijaga tetap tenang. Dan secara berkala keadaan induk diperiksa,
apakah sudah bertelur atau belum. Jika sudah sebaiknya induk segera dipindahkan
kembali kedalam bak pemeliharaan. Pernah dijumpai induk yang makan telurnya
setelah selesai bertelur. Untuk pemeriksaan ini induk ditangkap secara
hati-hati (jangan menimbulkan stress), dan diperiksa ovarinya. Biasanya semalam
diperiksa 2-3 kali.
Pada pagi harinya, diadakan pemindahan induk yang sudah
bertelur maupun belum. Jika induk sudah bertelur, pada permukaan air terdapat
sejenis busa kekuning-kuningan yang bersal dari saluran induk. Busa ini harus
dibersihkan. Busa tersebut disaring dengan serok ukuran 50 mesh kemudian serok
disemprot dengan air tawar diluar bak. Demikian berulang-ulang sehingga
permukaan air bersih.
Aerasi dibersihkan untuk merangsang proses penetasan.
Sedangkan induk yang belum bertelur dipindah kedalam bak pemeliharaan induk
untuk diberi pakan. Agar telurnya tidak diserap (diadsorbsi) kembali sore
harinya induk ini dapat dipindahkan kembali kebak peneluran untuk proses
peneluran berikutnya.
2). Udang Putih
Induk hasil seleksi (tingkat III) dipindahkan ke dalam
bak peneluran dengan padat tebar 3-4 ekor per 0,5 m3 volume bak,
suhu dan salinitas dalam bak harus berkisar antara 28-30 0C dan 27 –
31 ‰. Setelah penebaran
induk bak harus ditutup dengan kanvas untuk mengurangi cahaya matahari.
Peneluran terjadi pada malam hari atau pagi harinya.
Dengan pemilihan yang baik maka lebih 80% dari induk
betina akan bertelur. Produksi telur pada awal peneluran biasanya lebih banyak
dibandingkan dengan peneluran selanjutnya. Ukuran induk sekitar 40 gr
dihasilkan fekunditas 57.000 telur dengan hatching rate 75%. Keesokan harinya
induk dipindahkan ke dalam bak pematangan kembali. Telur yang telah dilepaskan
akan menetas setelah 13 -14 jam.
3). Udang Vaname
Prosentase pembuahan dan penetasan sangat ditentukan oleh kualitas sperma
dan kemampuan penempelan pada telikum serta media penetasan (suhu dan
salinitas) beberapa kegagalan yang mungkin terjadiadalah tidak terjadinya
pembuahan yang disebabkan induk betina belum matang telur atau rusaknya
spermatofor.Induk yang telah kawin dicirikan adanya penempelan sperma pada
telikum. Padat tebar pada bak pemijahan 4 ekor/m2.
1-2 jam kemudian induk akan melepaskan telurnya. Proses spawning biasanya
sekitar 2 menit . selama itu udang akan berenang perlahan pada kolam air dan
menyemprotkan seluruh telur dan ovary. Selama telur disemprotkan udang betina
dengan cepat akan mencampur dengan sperma yang melekat pada tilikum dengan
menggunakan kaki renang. Keesokan
harinya induk diangkat dan dikembalikan ke bak pamatangan, sedangkan telurnya
diberi aerasi merata dan dibersihkan dari kotoran-kotoran dan lendir-lendir
yang tertinggal. Telur akan menetas 16 – 18 jam.
C. Penetasan telur
Proses penetasan telur dilakukan
dalam bak peneluran. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses penetasan
adalah :
- Telur harus dijaga agar tidak mengendap. Untuk itu
aerasi harus diatur agar dapat mencegah telur mengendap karena tidak
teraerasi,dan jika telur mengendap, secara berkala diadakan pengadukan
secara perlahan-lahan.
- Suhu air dijaga tetap stabil pada kisaran 29-310
c.
Proses penetasan umumnya berlangsung
10 - 12 jam (udang windu),13 – 14 jam (udang putih) dan 16 – 18 jam (udang
vaname). Penetasan ditandai dengan
adanya nauplius yang berenang didalam media penetasan (lebih jelas dilihat jika
dibantu cahaya lampu senter).
D. Panen nauplius
Larva hasil penetasan telur udang dinamakan Nauplius.
Nauplius ini perlu dipindahkan kedalam bak pemeliharan larva . Sehingga perlu
dipanen. Panen nauplius dilakukan dengan cara sbb:
1.
Disiapkan ember plastik yang sudah diisi air laut dari media
larva dicampur dengan air dari media penetasan, dan diberi aerasi.
2.
Nauplius ditangkap dengan serok nauplius (di toko umumnya
berukuran 250 mesh) lebih baik jika saat panen dibantu dengan lampu senter. Karena
larva bersifat fototaksis positif, sehingga berkumpul jika terkena cahaya
lampu.
3.
Nauplius hasil tangkapan ditampung dalam ember, menunggu
cukup terkumpul untuk dipindahkankedalam bak pemeliharaan larva.
4.
Demikian berkali-kali sampai seluruh nauplius tertangkap.
Soal – soal Latihan :
1.
Jelaskan cara persiapan media pemijahan !
2.
Sebutkan ciri – ciri/tanda – tanda telah berlangsungmya
peneluran !
3.
Sebutkan cara penetasan telur !
4.
Sebutkan cara panen Nauplius !
BAB VI PEMELIHARAAN LARVA
Pada panti pembenihan udang, pemeliharaan larva merupakan
suatu aspek penting dalam pengoperasian sebuah hatchery. Kegiatan pemeliharaan
larva dimulai dari stadium nauplius hingga mencapai stadium post larva (PL) 10
yang dikenal sebagai benih udang atau benur. Termasuk di dalamnya kegiatan -
kegiatan seperti persiapan bak pemeliharaan, penebaran nauplius, penyediaan dan
pemberian pakan, pengelolaan kualitas air, pengendalian penyakit, dan proses
pemanenan.
6.1. Persiapan
Bak Pemeliharaan Larva
Bak pemeliharaan larva dilapisi dengan cat
U-Poxy berwarna biru muda dan dilengkapi dengan pipa saluran udara (instalasi
aerasi), instalasi air laut, instalasi alga, dan saluran pengeluaran yang
dilengkapi saringan sirkulasi dan pipa goyang, serta terpal sebagai penutup
agar suhu stabil selama proses pemeliharaan larva. Kemiringan bak adalah 2 - 5
%, hal ini bertujuan untuk memudahkan
dalam pengeringan. Adapun sistem aerasi
pada bak pemeliharaan larva menggunakan aerasi gantung dengan jarak antar titik
40 cm dan jarak dari dasar bak adalah 5 cm agar sisa pakan dan kotoran tidak
teraduk.
Pencucian bak dilakukan dengan
menggunakan kaporit 60 % sebanyak 100 ppm yang dicampur dengan deterjen 5 ppm
dan dilarutkan dengan air tawar pada wadah berupa ember kemudian dinding dan
dasar bak digosok-gosok dengan menggunakan scoring pad dan dibilas dengan air
tawar hingga bersih dan kemudian dilakukan pengeringan selama dua hari.
Pencucian dan pengeringan bak ini bertujuan untuk menghilangkan dan mematikan
mikro organisme pembawa penyakit. Bila pada pemeliharaan sebelumnya larva terserang
penyakit dengan frekwensi lebih sering setiap siklusnya, maka dilakukan
perendaman bak dengan air tawar yang diberi kaporit 60 % 100 ppm dan PK 1 ppm
selama dua hari kemudian air dibuang dan dicuci dengan menggunakan kaporit 100
ppm dan deterjen pada dinding dan dasar bak. Setelah itu dibilas dengan
menggunakan air tawar dan dikeringkan selama satu minggu. Selang, pemberat dan
batu aerasi dijemur selama dua hari.
Pengisian air laut ke dalam bak
pemeliharaan dilakukan dengan menggunakan filter bag. Air laut langsung
ditransfer dari tandon yang sebelumnya telah dilakukan penyaringan dengan
menggunakan sand filter dan disinari UV dan ditampung pada bak tandon yang ditutup rapat serta dilakukan
pemompaan ke tower yang dilengkapi UV pula untuk dialirkan ke bak-bak
pemeliharaan larva.
6.2. Penebaran Nauplius
Penebaran nauplius dilakukan
pada pagi hari dengan tujuan untuk menghindari perubahan suhu yang terlalu
tinggi dengan cara aklimatisasi 30 menit atau sampai suhu di dalam wadah dengan
suhu di luar wadah sama dengan menggunakan bantuan thermometer oC,
aklimatisasi ini bertujuan untuk menyesuaikan naupli dengan perubahan kondisi
lingkungan air di bak pemeliharaan larva.
Nauplius yang ditebar adalah naupli muda (N3-4),
hal ini bertujuan agar menekan gangguan proses metamorfosis sekecil mungkin
dari stadia naupli ke stadia protozoea 1. karena pada proses pemeliharaan larva
udang putih vaname sering dikenal dengan istilah zoea syndrome atau zoea
lemah. Dimana pada fase ini larva kelihatan lemah dan tubuh kotor yang dapat
menyebabkan kematian hingga 90 % (Elovaara 2001). Hal ini berbeda dengan Wyban
(1991) yang menyatakan naupli yang baik untuk dilakukan pemanenan adalah N5-6.
Padat tebar untuk
untuk larva udang windu adalah 50 – 100 ekor/liter untuk udang putih Padat
tebar nauplius adalah 100-120 ekor/liter sedangkan untuk udang vanname 100 –
200 ekor / liter.
6.3. Penyediaan
Pakan dan Pemberian Pakan
Jenis pakan yang
diberikan pada larva udang vaname selama proses pemeliharaan ada dua jenis yaitu
pakan alami (phytoplankton dan zooplankton) dan pakan komersil (buatan). Masing
– masing makanan tersebut diberikan dengan jumlah dan frekuensi tertentu sesuai
dengan stadia larva. Jenis pakan alami yang dikultur adalah Chaetoceros ceratos dan Artemia
salina.
Pemberian Chaetoceros ceratos dilakukan
mulai dari stadia Zoea 1 sampai dengan stadia Mysis 3. Sedangkan pada stadia
naupli belum diberikan pakan, karena pada stadia ini larva udang putih vaname
masih memanfaatkan kuning telur sebagai pensuplai makanan.
Pemanenan Chaetoceros ceratos dilakukan
pada siang hari dan hari ke tiga. Dengan asumsi pada saat tersebut kandungan
pupuk pada media kultur telah banyak yang diserap oleh alga sehingga tidak
terbawa masuk ke bak pemeliharaan yang dapat menyebabkan meningkatnya kandungan
bahan organik selama proses pemeliharaan larva, karena pemanenan Chaetoceros
dilakukan dengan cara volume yaitu pemanenan alga
bersama dengan air media kultur. hari ketiga juga merupakan puncak populasi dan
merupakan fase terbaik untuk di transfer ke bak pemeliharaan larva (Kurniastuti
dan Ditjenkan, 1995).
Pemanenan Chaetoceros ceratos
dilakukan dengan menggunakan pompa celup dan dialirkan melalui pipa tranfer
alga ke bak pemeliharaan larva yang sebelumnya telah dibilas terlebih dahulu
untuk mencegah masuknya atau terkontaminan dari protozoa. Sebelum pemanenan,
terlebih dahulu dilakukan perhitungan kepadatan sel/ml dengan tujuan agar
diketahui berapa volume yang harus ditranfer ke dalam bak pemeliharaan larva.
Kepadatan alga yang harus diberikan dapat dilihat pada tabel 5. Hal ini sesuai dengan Nurdjana, et al. (1983) yang
menyatakan bila terlalu padat pada bak pemeliharaan larva dapat menyebabkan
feces yang dikeluarkan pada stadia zoea panjang-panjang yang dapat menyulitkan
pergerakan pada larva dan dapat
menyebabkan kematian
Chaetoceros sp. merupakan
jenis alga dari kelompok diatomae dimana alga ini mempunyai kelebihan
dibandingkan beberapa jenis diatomae lainnya, yaitu mengandung HUFA dan Omega 3
(Dainith, 1993) yang dapat meningkatkan anti body yang sangat dibutuhkan oleh
larva udang vaname terutama pada
fase-fase transisi seperti dari stadia Naupli ke stadia Zoea, dimana pada fase
ini sering dikenal dengan istilah zoea syndrome atau zoea lemah yaitu
larva kelihatan lemah dan tubuh kotor yang dapat menyebabkan mortalitas hingga
90 % (Elovaara 2001). Selain itu Lavilla,. Et al (1998) menyatakan Chaetoceros
sp mampu menekan laju pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi selama
proses pemeliharaan larva.
Pakan alami dari jenis zooplankton
yang diberikan pada larva udang vaname adalah Artemia salina dengan
cara dilakukan pengkulturan selama 24 jam dalam wadah berupa Gallon Aqua volume
20 liter, baru kemudian dapat diberikan pada larva udang vaname pada M3 - PL1
dengan kepadatan 3-4 individu/ml, pada PL2 – PL5 dengan
kepadatan 8-10 individu/ml, dan PL6 – PL10 dengan
kepadatan 11-13 individu/ml. Jumlah dan frekuensi pemberian Artemia salina dapat
dilihat pada tabel 4.

Gambar artemia salina
Dalam proses pengkulturan Artemia
salina ada dua cara yang dilakukan, yaitu bila yang dimiliki adalah artemia
No.1 maka Cyste artemia langsung dikultur selama 24 jam. Namun bila yang
dimiliki adalah artemia No.2 dan No.3
maka dilakukan proses pendekapsulasian cyste untuk meningkatkan daya tetas
dengan menggunakan klorin 20 % atau kaporit 1,5 ml /gram cyste artemia dan
diaduk sampai cyste artemia berwarna orange atau merah bata. Hal ini sesuai
dengan Elovaara (2001) yang menyatakan
untuk meningkatkan daya tetas cyste artemia perlu dilakukanya
pendecapsulasian.
Proses penghilangan lapisan cangkang
tersebut dengan menggunakan klorin (NaOCl) atau kaporit (Ca(OCL2),
karena kedua bahan tersebut melarutkan senyawa lipoprotein pada cangkang
telur artemia yang banyak mengandung Haematin. Diaduk sampai merata dan
kemudian dibilas dengan air tawar sampai bau clor pada cyste hilang.

Gambar
panen artemia salina
Selain pakan
alami selama proses pemeliharaan larva udang vaname diberikan juga pakan tambahan berupa pakan
komersil yang tujuannya untuk menjaga agar tidak sampai terjadi Under
Feeding selama pemeliharaan larva.

Gambar janis pakan buatan

Manajemen
pemberian pakan dapat dilihat pada tabel 4 berikut.
Tabel 4 . Manajemen pemberian pakan
pada pemeliharaan larva udang vaname
Stadia
|
Jenis
Pakan
|
Jumlah
Pakan
|
Frek
|
Waktu
Pemberian
|
N5-6
|
Chaetoceros
|
Min
50.000 sel/ml/hari
|
1
|
14.00
|
Zoea1
|
Chaetoceros
Lancy
ZM
|
Min 50.000 sel/ml/hari
3 ppm/hari
|
2
6
|
08.00,14.00
06.00,
10.00, 13.00, 17.00, 22.00, 02.00
|
Zoea2
|
Chaetocero
Lancy
ZM
|
Min 50.000 sel/ml/hari
3 ppm/hari
|
2
6
|
08.00,14.00
06.00,
10.00, 13.00, 17.00, 22.00, 02.00
|
Zoea3
|
Chaetoceros
Lancy
ZM
|
Min 100.000 sel/ml/hari
4 ppm/hari
|
2
6
|
08.00,14.00
06.00,
10.00, 13.00, 17.00, 22.00, 02.00
|
Mysis1
|
Chaetoceros
Lancy
ZM
Flake
|
Min 100.000 sel/ml/hari
4 ppm/hari
4
ppm/hari
|
2
6
6
|
08.00,14.00
06.00,
10.00, 13.00, 17.00, 22.00, 02.00
06.00,
10.00, 13.00, 17.00, 22.00, 02.00
|
Mysis2
|
Chaetoceros
Lancy
MPL
Flake
|
Min 100.000 sel/ml/hari
4 ppm/hari
4
ppm/hari
|
2
6
6
|
08.00,14.00
06.00,
10.00, 13.00, 17.00, 22.00, 02.00
06.00,
10.00, 13.00, 17.00, 22.00, 02.00
|
Mysis3
|
Chaetoceros
Lancy
MPL
Flake
Artemia
|
Min 50.000 sel/ml/hari
6 ppm/hari
6
ppm/hari
10
ind/hari
|
2
6
6
3
|
08.00,14.00
06.00,
10.00, 13.00, 17.00, 22.00, 02.00
06.00,
10.00, 13.00, 17.00, 22.00, 02.00
09.00,
15.00, 21.00
|
MPL
– PL1
|
Chaetoceros
Lancy MPL
Flake
Artemia
|
Min 50.000 sel/ml/hari
6 ppm/hari
6
ppm/hari
20
ind/hari
|
2
6
6
3
|
08.00,14.00
06.00,
10.00, 13.00, 17.00, 22.00, 02.00
06.00,
10.00, 13.00, 17.00, 22.00, 02.00
09.00,
15.00, 21.00
|
PL2-5
|
Chaetoceros
Lancy PL
Flake
Artemia
|
Min 50.000 sel/ml/hari
8 ppm/hari
8
ppm/hari
60
ind/hari
|
2
6
6
3
|
08.00,14.00
06.00,
10.00, 13.00, 17.00, 22.00, 02.00
06.00,
10.00, 13.00, 17.00, 22.00, 02.00
09.00,
15.00, 21.00
|
PL6-10
|
Lancy PL
Flake
Artemia
|
9 ppm/hari
9 ppm/hari
80 ind/hari
|
6
6
3
|
06.00,
10.00, 13.00, 17.00, 22.00, 02.00
06.00,
10.00, 13.00, 17.00, 22.00, 02.00
09.00,
15.00, 21.00
|
6.4. Pengelolaan Kualitas Air
Pengelolaan
kualitas air pada masa pemeliharaan larva udang vaname
maupun udang windu dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu monitoring, pengecekan kualitas air, water exchange, dan penyiponan. Monitoring kualitas air dilakukan setiap
hari yaitu pada pagi hari, parameter air yang dilakukan monitoring rutin adalah
suhu dengan tujuan agar selama masa pemeliharaan proses metabolisme dan
metamorfosis larva lancar yaitu berkisar pada 29-32 0C. Sedangkan
untuk pengecekan parameter kualitas air selama pemeliharaan larva dilakukan
pada setiap pergantian stadia. Parameter pH berkisar pada 7,5-8,5, salinitas
berkisar 29-34, dan kadar nitrit maksimal 0,1 ppm, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam SNI produksi benih udang
vaname.
Selain pengukuran
parameter-parameter tersebut dilakukan pergantian dan penambahan air secara
sirkulasi dengan cara melihat air secara visual, bila dipermukaan air telah
banyak gelembung-gelembung busa yang telah menumpuk dan gelembung tersebut
tidak dapat pecah kembali ini diasumsikan air pada kondisi jenuh dan telah
terjadi banyak perombakan-perombakan gas di dalam air. Pengisian air pada awal
penebaran naupli adalah sekitar 30 % dari kapasitas wadah, saat stadia zoea
ditambahkan sampai 70 %, stadia mysis 80 %
dan stadia post larva 100%.
Pergantian air dilakukan setelah
mencapai stadia mysis 3 sampai dengan PL 5 berkisar 10-30 % dam PL 5 sampai
dengan panen 30-50 % dari volume wadah yang terisi. Hal ini juga dilakukan
berdasarkan pengamatan warna perairan secara visual bila terjadi blooming
plankton atau banyak larva yang mati. Selain water exchange juga dilakukan
penyiponan dengan menggunakan pipa PVC yang berdiameter ½ inch dan ujungnya
diberi ujung penghisap berupa T yang telah dimodifikasi dengan dasar bak
pemeliharaan larva. Penyiponan dilakukan dengan cara melihat secara visual bila
dasar bak pemeliharaan larva telah mengendap banyak kotoran.
6.5 Pengamatan Kondisi dan Perkembangan Larva
Pengamatan
kondisi dan perkembangan larva penting dilakukan karena larva udang dalam
hidupnya mengalami beberapa stadia. Tujuan dari pengamatan ini adalah untuk
mengetahui kondisi fisik dan perkembangan tubuh larva yang dapat digunakan
untuk mengestimasi populasi sehingga dapat menentukan jumlah pakan yang
diberikan.
Pengamatan dilakukan secara
makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan makroskopis dilakukan secara visual
dengan mengambil sampel langsung dari bak pemeliharaan sebanyak satu liter
becker glass kemudian diarahkan ke cahaya untuk melihat kondisi tubuh larva,
pigmentasi, usus, sisa pakan kotoran atau feces dan butiran-butiran yang dapat
membahayakan larva.
Pengamatan mikroskopis dilakukan
dengan cara mengambil beberapa ekor larva dan diletakkan di atas gelas
objek, kemudian diamati dibawah mikroskop. Pengamatan ini dilakukan untuk
mengamati morfologi tubuh larva, keberadaan parasit, pathogen yang menyebabkan
larva terserang penyakit. Hal ini sangat penting dilakukan untuk tindakan
pengobatan secepat mungkin.
Selain pengamatan kondisi dan
perkembanagn larva, dilakukan pula sampling pada setiap stadia untuk menentukan
kepadatan populasi yang berguna dalam penentuan jumlah pakan yang dibutuhkan
larva.
Selama pemeliharaan larva dilakukan juga
pengontrolan aerasi yang dimulai dari penebaran nauplius, dimana penyetelan
aerasi untuk nauplius diperkecil dengan tujuan menekan gangguan selama proses
metamorfosis sekecil mungkin. Setelah larva berumur 4 hari dari penebaran atau
pada Zoea 3 bari diberikan stelan aerasi sedang dengan maksud agar larva tidak
mengumpul karena pada stadia ini larva sudah mulai berenagng dan sifat
fototaksisnya semakin baik. Kemudian pada stadia Post larva baru aerasi
diberikan setelan kuat agar PL tidak menempel pada bak pemeliharaan dan
penebaran pakan dapat dikonsumsi oleh larva secara merata.
6.6. Pengendalian
Penyakit
Pengendalian penyakit dilakukan
dengan menggunakan prinsip dasar yaitu tindakan pencegahan dan pengobatan.
Fluktuasi udara yang cepat berubah mempengaruhi lingkungan pemeliharaan larva
udang vaname yang sangat sensitif terhadap
perubahan lingkungan, terutama dari stadia Naupli ke stadia Zoea. Organisme
patogen umumnya memiliki siklus hidup yang pendek namun cepat berkembang.
Tindakan pencegahan dilakukan
dengan cara mulai dari penerapan bio security dengan menggunakan PK
(Kalium Permanganat) sebanyak 1,5 ppm yang di tempatkan pada awal pintu masuk
sebelum memasuki dan akan memasuki ruangan
(Gambar 14). Selain penerapan bio security dilakukan juga sanitasi
peralatan yang dilakukan sebelum dan sesudah pemakaian peralatan dengan cara
diping menggunakan formalin 100 ppm pada setiap bak (Gambar 15). Pada
pemeliharaan larva dilakukan juga pemberian obat-obatan yang aman seperti
Formalin, Iodin atau EDTA setiap tiga
hari sekali.

|
|
Gambar
14. Bak cuci kaki (foot bath) Gambar 15. Sterilisasi peralatan
Jenis organisme yang umumnya
menyerang larva udang vaname adalah
dari golongan protozoa, virus, jamur, bakteri dan cacing. Oleh karena itu harus
dilakukan dengan cermat, karena merupakan pusat proses produksi. Baik itu input
dari induk, pakan alami, pakan buatan maupun air media pemeliharaan.
Salah satu penyakit larva yang sulit untuk dilakukan pencegahan dan
pengobatan adalah dari golongan Virus yaitu IHHNV (Infectious Hypodermal and
Hematopoietic Necrosis Virus), TSV (Taura Syndrome Virus), WSSV atau
SEMBV ( White Spote Syndrome Virus) dan YHV (Yellow Head Virus).
Penanggulangannya yaitu dengan cara pemusnahan agar tidak menyebar ke tempat
lain.
6.7. Pemanenan Benur
Pemanenan benur dilakukan
dimulai pada stadia PL10 atau ukuran PL telah mencapai 1 cm
dan yang telah memenuhi kriteria-kriteria benur yang siap dipanen. Pemanenan benur dimulai dengan menurunkan
volume air 8 ton. Setelah mencapai volume 8 ton, pipa saringan sirkulasi larva
dibuka dan air dari saluran pengeluaran ditampung dalam ember yang telah
dimodifikasi dengan pemberian saringan kasa
dan larva yang telah banyak di dalam ember dipindahkan ketempat lain
dengan menggunakan serokan. Benur yang telah dipanen dipindahkan ketempat pengemasan
dengan diberi aerasi dan selanjutnya
dikemas dengan kantong plastik dan diberi oksigen (Gambar 16). Kepadatan benur sesuai dengan jarak
transportasi, biasanya untuk kantong dengan volume air 10 liter kepadatan 2000
– 4000 ekor PL-10.
![]() |
![]() |
![]() |
Gambar Tahapan panen benur

Soal – soal Latihan :
- Jelaskan cara persiapan media pemeliharaan Larva !
- Sebutkan dan jelaskan jenis pakan dan cara – cara pemberian
pakan pada larva dan post larva udang !
- Jelaskan teknik pengeloloaan kualitas air pada
meliharaan larva dan post larva udang !
- Jelaskan teknik pengendalan penyakit pada
pemeliharaan larvca dan post larva udang !
- Jelaskan teknik panen dan pengemasan benih udang !
BIOLOGI KEPITING BAKAU
(Scylla serrata)
A. Klasifikasi Kepiting Bakau
Fillum : Arthropoda
Klass : Crustacea
Ordo : Decapoda
Sub ordo : Branchyura
Famili : Fortunidae
Sub
famili : Lipulinae
Genus :
Scylla de Haan
Spesies : serrata
(Forskal)
B. Ciri Morfologi
Ciri khas yang dimiliki oleh kepiting adalah karapasnya berbentuk pipih
atau agak cembung dan berbentuk heksagonal atau agak persegi. Ujung pasangan
kaki terakhir mempunyai bentuk agak pipih dan berfungsi sebagai alat pendayung
pada saat berenang.
Kepiting bakau memiliki karapas berwarna seperti warna lumpur atau sedikit
kehijauan, pada kiri kanannya terdapat sembilan buah duri tajam, dan pada
bagian depannya di antara kedua tangkai matanya terdapat enam buah duri. Dalam
keadaan normal sapit kanannya lebih besar dari sapit kirinya dengan warna
kemerahan pada masing-masing ujung capit. Memiliki 3 kaki pejalan dan satu kaki
perenang. Kaki renangnya terdapat pada bagian ujung perutnya, dan ujung kaki
perenang dilengkapi dengan alat pendayung.

C. Habitat dan Daur Hidup
Kepiting bakau dalam menjalani hidupnya beruaya dari pantai ke laut.
Kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara
sungai atau hutan bakau untuk mencari perlindungan, mencari makan atau
membesarkan diri.
Kepiting bakau yang siap melakukan perkawinan akan memasuki perairan bakau.
Setelah perkawinan berlangsung secara
perlahan-lahan kepiting betina akan beruaya ke pantai dan akhirnya menuju laut
untuk melakukan pemijahan. Setelah melakukan pemijahan telur akan menetas
menjadi Zoea1 dan terus menerus berganti kulit menjadi megalopa, pada stadia
ini sudah mulai beruaya pada dasar perairan lumpur menuju pantai, muara sungai
kemudian keperairan hutan bakau sampai dewasa, lalu melakukan perkawinan lagi.
PENGADAAN INDUK
A. Penangkapan
Induk
Untuk mendapatkan calon induk dapat ditempuh dua jalan yaitu dengan
melakukan seleksi di areaI budidaya kepiting atau pembesaran dan dapat pula
dengan melakukan penangkapan induk bertelur di alam. Induk kepiting bertelur
dapat ditangkap dengan alat Trawl-dasar berukuran kecil, jaring insang apung
atau jaring dasar atau dengan perangkap kepiting (Crab pot). Alat-alat tangkap ini sebaiknya dipasang agak jauh dari
pantai di depan perairan bakau karena Kepiting petelur yang akan memijah
biasanya beruaya dan berada jauh dari pantai


Ambau Bubu, Rakkang, dan Pengait
Gambar Alat Tangkap Kepiting (Crab pot)
B. Seleksi Induk
Kegiatan seleksi induk bertujuan untuk mendapatkan calon induk yang
berkualitas sesuai dengan persyaratan teknis. Adapun syarat-syarat induk
kepiting yang baik adalah:
- Umur kepiting minimal 12 bulan
- Berat minimal 300 gr
- Panjang carapas minimal 12 cm
- Sehat dan tidak terinfeksi penyakit
- Organ tubuh lengkap ( tidak cacat)
- Matang Gonad (bertelur)

Gambar morfologi kepiting betina

Gambar kepiting bertelur
C. Pengangkutan Induk
Induk hasil seleksi maupun penangkapan dari alam yang hendak dibawa ke
tempat penetasan (hatchery), apabila jaraknya dekat (30 menit) dapat
ditempatkan dalam kotak-kotak plastik atau kotak-kotak polyester berisi 5
sampai 10 liter air laut untuk seekor induk. Bila suhu air di atas 30 0C
dapat ditambahkan es batu ke dalam kotak pengangkutan.
Tetapi untuk pengangkutan induk ke tempat penetasan yang memerlukan waktu
1-5 jam, harus digunakan tanki air atau bak fiber glass berbentuk persegi
panjang dengan kapasitas 1 ton, diaerasi atau ditambahkan oksigen. Bila capit (Chelae) diikat untuk menghidari
perkelahian sesama induk, maka pengangkutan induk dapat dilakukan dalam
kepadatan tinggi.
D. Aklimatisasi Induk
Induk yang baru tiba di lokasi penetasan segara dilakukan aklimatisasi,
untuk menyesuaikan kondisi air pengangkutan dengan air pemeliharaan.
Aklimatisasi dilakukan dengan cara menambahkan air pemeliharaan ke dalam media
pengangkutan, penambahan ini berlangsungsung secara perlahan-lahan sampai
kondisi suhu dan salinitas air pengangkutan sama dengan suhu dan salinitas air
pada bak pemeliharaan atau bak pemijahan.
PEMELIHARAAN INDUK
A. Persiapan Bak
Bak yang digunakan sebagai bak
pemijahan dapat berupa bak beton dengan
kapasitas 1- 5 ton atau tergantung dari kegiatan usaha tersebut, bentuk bak
bisa bundar atau persegi. Sebelum digunakan bak pemeliharaan dicuci terlebih
dahulu dengan menggunakan air tawar ditambahkan deterjen atau dapat pula dengan
menggunakan chlorin. Selesai pencucian bak, dilanjutkan dengan pemasangan
aerasi, tujuannya adalah sebagai suplai oksigen dengan sumber utama adalah
blower. Kemudian dilakukan pengisian air setinggi 30 cm.
B. Pemberian pakan
Induk kepiting yang telah diaklimatisasi dimasukkan ke dalam bak pemijahan.
Dengan padat tebar 1-3 ekor/m2 . bahkan dengan perbandingan jantan
dan betina 1:1. Selama dalam bak pemijahan induk kepiting diberi pakan berupa
potongan daging kerang, cumi-cumi atau udang. Dosis makanan yang diberikan
berkisar 3% dari berat total Kepiting yang hendak dipijahkan.
C. Pengelolaan kualitas air
Untuk menjaga kondisi kualitas air pemeliharaan/pemijahan tetap stabil maka
dilakukan beberapa kegiatan antara lain dengan melakukan pergantian air,
diupayakan sistim pergantian air dengan menggunakan metode air mengalir. Sisa
pakan yang terdapat di dasar bak sebaiknya segera dibersihkan agar tidak
menyebabkan timbulnya proses pembusukan yang dapat menurunkan kualitas air
dalam bak pemijahan. Pembersihan sisa pakan dapat dilakukan dengan cara
penyifonan, yaitu menyedot sisa pakan dengan menggunakan slang plastik.
PEMIJAHAN
Sebelum pemijahan berlangsung, induk Kepiting betina biasanya akan
mengalami ganti kulit (molting).
Bersamaan dengan itu tubuh induk betina akan mengeluarkan sejenis hormon (Pheromone). Pheromone merupakan
perangsang yang kuat bagi jantan agar segera mendekati betina. Pada saat
terangsang oleh pheromone induk jantan akan segera matang gonad.
Tingkat kematangan gonad Kepiting jantan dianggap terbaik setelah 3 hari
menerima rangsangan. Induk jantan yang menerima rangsangan akan menaiki
(menggendong) tubuh induk betina kurang lebih 4 hari, hingga proses molting
selesai. Sebelum turun dari tubuh induk betina, induk jantan akan mengeluarkan
spermanya.
Proses pengeluaran sperma (Kopulasi)
dilakukan dengan jalan induk jantan membalikkan tubuh induk betina dan
menyisipkan sperma ke dalam ovarium. Kegiatan ini berlangsung setelah molting
dan terjadi 7 – 12 jam. Sekali melakukan proses pemijahan, sperma dapat
digunakan untuk membuahi telur sebanyak
2 periode.Bila proses pemijahan selesai segera induk dipindahkan kedalam bak
penetasan.
PENETASAN
A. Pemeriksaan Perkembangan telur
Bak peneluran sebelum digunakan terlebih dahulu disiapkan, mulai dilakukan
pencucian sampai dengan pemberian subtrat, dalam hal ini dapat diberikan pasir
pada dasar bak dengan ketebalan 10 cm. Padat tebar pada bak peneluran 1-3
ekor/m2. Selama dalam proses penetasan pergantian air dilakukan
dengan sistim air mengalir sedalam 30-50 cm.
Perkembangan embrionik dari mulai memijah sampai menetas biasanya
berlangsung 20 - 25 hari dan keadaannya harus diperiksa setiap hari. Perubahan
warna mulai dari berwarna orange sampai coklat atau hitam. Warna hitam antara
lain berasal dari mata fasot embrio.
Bintik mata hitam serta denyutan jantung sangat jelas terlihat. Bila
bintik-bintik ungu kemerahan sudah terlihat menandakan sekitar 3 hari lagi
penetasan akan berlangsung. Sebaiknya pada keadaan demikian induk tersebut
segera dipindahkan dalam satu bak, dan air bak diisi penuh.
B. Proses Penetasan
Pada prinsipnya untuk menetaskan telur Kepiting pada dasarnya tidak berbeda
dengan penetasan telur udang windu, karena keduanya berasal dari kelas yang
sama yaitu Crustacea. Semua keperluan
yang berkaitan dengan penetasan dan pemeliharaan larva harus sudah di siapkan.
Keberhasilan penetasan telur dan kelulus hidupan larva ditentukan oleh kesiapan
dalam menyediakan seluruh keperluan penetasan.
Saat akan berlangsungnya penetasan dapat ditandai dengan tingkah laku induk
Kepiting biasanya induk lebih sering berdiri pada kaki jalan (Priopoda) dengan massa telur
ditempelkan pada subtrat. Pada saat demikian penggantian air ciukup dilakukan
separuh bagian saja dan dilakukan dengan sangat hati-hati, volume air sebaiknya
memenuhi seluruh bak.
Penetasan yang normal biasanya berlangsung diantara jam 8 pagi dan malam
hari, umumnya sebelum matahari terbit. Bila penetasan telah berlangsung dengan
sempurna yang dapat diamati dari telah melipatnya abdomen induk segera induk dipindahkan ke bak pemijahan kembali.
PEMELIHARAAN LARVA
A. Persiapan bak
Bak untuk pemeliharaan larva dapat digunakan dari berbagai ukuran dan
berbagai desain, tergantung dari besarnya usaha yang dilaksanakan. Bak
pemeliharaan dapat berukuran 3 -10 ton ditempatkan di luar maupun di dalam
ruangan. Bak-bak berbentuk bulat lebih baik digunakan karena tidak adanya
pojok-pojok dimana larva, makanan, dan detritus berakumulasi.
Bak pemeliharaan sebelum digunakan terlebih dahulu dilakukan pencucian bak
dengan menggunakan chlorin, sesudah dibilas bak dikeringkan. Selanjutnya aerasi
dipasang sebagai sumber oksigen terlarut. Kemudian dilakukan pengisian air. Air
yang akan digunakan harus air laut bersih yang telah dilakukan filterisasi
maupun penyinaran serta chlorinisasi, semuanya ini bertujuan untuk mencegah
berkembangnya bibit penyakit.
B. Penebaran
Untuk mencegah kematian yang terlalu tinggi sebaiknya larva kepiting
dibiarkan hidup di dalam bak penetasan hingga berumur 5 hari. Pemindahan yang
dilakukan kurang dari 5 hari dikhawatirkan akan mengakibatkan stres pada larva
Kepiting. Larva kepiting yang baru menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya.
Agar tidak terjadi perubahan kondisi lingkungan yang mendadak, pemindahan larva
Kepiting ke wadah-wadah kecil atau waskom yang telah diisi air laut sebaiknya
dilakukan bersama air aslinya. Tujuan pemindahan larva ini adalah untuk
mengurangi padat tebar larva Kepiting, sehingga akan mengurangi kemungkinan
terjadinya kematian pada larva Kepiting. Padat tebar yang disarankan adalah10 -
20 larva/liter
C. Perkembangan Larva Kepiting.
Stadia zoea merupakan stadia awal
dari perkembangan larva kepiting, stadia zoea ini berlangsung dari stadia zoea1
sampai zoea 5 dengan waktu perubahan 3 - 5 hari, selanjutnya zoea akan berubah
menjadi tingkatan Megalopa. Pada
tingkatan ini larva membutuhkan waktu perubahan 11 - 12 hari. Fase Kepiting
muda berawal setelah Megalopa berganti kulit menjadi fase
Kepiting muda, kedua dan seterusnya sampai ke tingkat 16 atau 17 yaitu fase
terakhir kepiting muda dengan panjang karapas 10 cm

Gambar
Perkembangan Telur, Zoea 1 – Zoea 5

Gambar Stadia Megalopa dan Juwana
D. Pemberian Pakan
Larva Kepiting yang baru menetas bersifat planktonis. Jenis makanan yang
cocok untuk stadi zoea 1 - 4 adalah Rotifera
(Brachionus plicatilis) dengan
kepadatan 3 -10/ml. Selain Rotifera
ditambahkan juga naupli Artemia salina yang
baru menetas sampai fase Megalopa. Dosis Artemia
pada stadia (Z 1-2) awal cukup dalam jumlah kecil, kemudian pada
stadia Z3 sampai Z5 100 - 300 ekor/ml
Pada larva tingkat akhir Z 3-4 sudah dapat ditambahkan hancuran
daging cumi-cumi, ikan, kerang-kerangan atau udang kecil. Namun dalam pemberian
hancuran daging dari berbagai organisme laut perlu hati-hati karena belum tentu
cocok untuk larva. Bila hancuran tidak dimakan dapat menyebabkan pembusukan dan
mencemari air pemeliharaan.
Pada tingkat Megalopa makanan sudah dapat diawali sama dengan makanan
Kepiting dewasa. Yaitu cumi-cumi, ikan,
kerang-kerangan atau udang kecil dengan
jumlah 150-200 gram/ton. Pemberian pakan ini cukup 1 kali dalam sehari.
PANEN DAN PENGANGKUTAN
A. Panen
Panen dilakukan setelah larva kepiting mencapai ukuran benih yaitu 1,5 – 3
cm atau dengan berat kurang dari 60 gram. Atau tergantung dari pesanan
konsumen. Adapun cara panen dapat dilakukan dengan cara mengeringkan kolam
pemeliharaan larva, kemudian menangkap benih Kepiting dengan menggunakan serok
, lalu menampungnya pada wadah yang telah disiapkan.
B. Pengangkutan Benih
Pengangkutan benih dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara pertama
apabila jarak pengangkutan dekat benih Kepiting cukup dimasukkan ke dalam wadah
plastik tanpa air. Tapi apabila jarak yang ditempuh jauh maka dapat menggunakan
kantong plastik yang tebal dan diberi air serta ditambahkan oksigen, lama
perjalanan sebaiknya tidak lebih dari 2,5 jam. Apabila jarak pengangkutan lebi
jauh sampai 5 jam perjalanan maka wadah pengangkutan sebaiknya bak fiber yang
diisi air dan dilengkapi sumber oksigen berupa aerator.
Soal – soal Latihan :
- Jelaskan proses pemijahan pada Kepiting
- jelaskan penanganan induk kepiting
- jelaskan proses pemeliharaan larva
makasih atas ilmunya pakk
ReplyDeleteMakasih pak,ilmunya
ReplyDeleteBy riska monika
Terimakasih pak atas materinya
ReplyDelete@ernawati
MAKASIH PAK
ReplyDelete#adrianti
terimah kasih pak.....
ReplyDelete#maharani